A.
Pendahuluan
Allah SWT menurunkan Alquran
ke muka bumi serta mengutus para Nabi dan RasulNya mempunyai misi mulia, yaitu
membimbing umat manusia yang peranannya sebagai khalifah-khalifah Nya dapat memkmurkan
kehidupan duniawi dan tidak menimbulkan kerusakan dan bencana.
Kitab suci Alquran yang
dipedomani dalam segala aspek kehidupan ini, dipelajari dan digali makna yang
tersurat dan tersirat untuk dikontekstualisasikan nilai-nilainya dalam kehidupan
baik sebagai individu, keluarga, masyarakat, berbangsa-bernegara serta sebagai
anggota masyarakat dunia.
Garansi risalah ilahiyah
sebagai rahmatan lil ‘ālamῑnadalah permanen dan abadi bagi mereka yang
menjadikannya sebagai way of life dan garansi niqmatan lil ‘ālamῑnjuga
berlaku sama bagi mereka yang menjadikannya sebagai alat untuk meraih
popularitas dan kebahagiaan semu duniawi semata.
Alquran mengandung ayat-ayat
yang sebagian muhkamāt dan sebagian ayat-ayatnya mutasyābihāt. Di
sisi lain ayat-ayatnya juga berupa kauniyāt.
Karakteristik ayat yang
beragam ini memerlukan ilmu tersendiri dalam memahaminya. Dalam kajian hukum
Islam, maka metode yang acap digunakan dalam menggali dan menetapkan hukum
Islam adalah ilmu uṣul fiqih atau uṣul fiqih yang merupakan serangkaian
kaidah-kaidah yang berfungsi untuk mendeteksi kandungan makna yang terdapat
pada sautu ayat tertentu, baik secara mandiri maupun dengan adanya qarinah dari ayat lain.
Uṣūliyyun dalam
mengkontekstualisasikan makna Alquran dan sunnah menggunakan dua pendekatan:
teoritis induktif yang lebih bersifat konseptuan futuristik dan deduktif
empirik yang lebih bersifat pragmatik realistis.
Sebagai salah satu disiplin
ilmu dalam Islam, Uṣul fiqihjuga mengkaji tentang sumber-sumber hukum dan
metode pengembangannya.Di luar paradigma spesifiknya ini, orang dapat
mengatakan bahwa Uṣul fiqih telah memberikan pedoman-pedoman dalam pengkajian
dan pemahaman yang benar pada hampir semua cabang kajian Islam, termasuk pada
disiplin ilmu ekonomi.
Dalam makalahsederhana ini, penulis akan mencoba menjawab
pertanyaan-pertanyaan berikut:
1.
Apakah
ilmu Uṣul fiqih dan dasar hukumnya?
2.
Bagaimana
sejarah perkembangan Uṣul fiqih?
3.
Bagaimana
formulasi kajian Uṣul fiqih dalam
pengembangan ekonomi Islam?
B.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Uṣul fiqih
Uṣul fiqih terdiri dari dua buah
kata dalam bahasa Arab yang masing-masing mempunyai pengertian yang luas, yaitu
kata uṣul dan fiqh.Kata uṣul merupakan
bentuk jamak dari kata aṣl yang
mengandung arti landasan sesuatu. Sedangkan secara terminoigi, kata aṣl mempunyai beberapa pengertian,
yaitu:[1]
1) Dalil, yaitu
landasan hukum, seperti ungkapan Uṣuliyyun: aṣl
dari wajibnya ṣalat adalah firman Allah dan Sunnah Rasul. Maksudnya, yang
menjadi dalil kewajiban ṣalat adalah ayat Alquran dan Sunnah.
2)Qā’idah,yaitu dasar atau fondasi, seperti
sabda Rasulullah SAW yang artinya: “Islam
itu didirikan atas lima uṣul (dasar atau fondasi).”
3)Rajih, yaitu pendapat terkuat, seperti ungkapan uṣuliyyun: “Yang
kuat dari kandungan suatu ungkapan adalah arti hakikatnya.” Maksudnya, setiap perkataan yang
didengar atau dibaca, yang menjadi patokan adalah makna hakikat dari perkataan
itu.
4)Al-Far’u atau cabang, yaitu seperti ungkapan uṣuliyyun: Anak adalah cabang dari ayah.”
5)Mustaṣhab yaitu memberlakukan hukum yang
ada sejak semuala selama tidak ada dalil yang mengubahnya. Misalnya, orang yang
telah berwudhu kemudian merasa ragu-ragu apakah ia masih suci atau sudah batal
wudhunya. Akan tetapi,ia merasakan yakin betul belum melaksanakan sesuatu yang
membatalkan wudhu. Atas dasar keyakinan ini, maka ia tetap dianggap suci atau
masih mempunyai wudhu.
Dari kelima pengertian uṣul secara bahasa di atas, pengertian
yang sering digunakan dalam pembahasan Uṣul fiqih adalah dalil, yaitu dalil-dalil fiqih.
Sedangkan kata fiqih, secara etimologi bermakna pemahaman mendalam yang
membutuhkan pengerahan potensial akal.[2]
Seperti, firman Allah SWT dalam surat Thaha
ayat 27 dan 28 yang artinya: Dan
lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka memahami perkataanku.”
Sedangkan pengertian fiqih secara termonologi adalah artinya:
“Ilmu tentang hukum shara’ yang praktis
yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.”[3]
Madhhab
Syafi’i dan jumhur ulama (mayoritas
ulama) berbeda pendapat dalam mendefinisikan Uṣul fiqih sebagai salah satu
disiplin ilmu. Menurut madhhab Syafi’i Uṣul fiqih adalah: “Suatu ilmu yang membahas dalil-dalilfiqih secara global, bagaimana
cara menggunakannya, dan mengetahui keadaan orang yang menggunakannya
(mujtahid).”[4]
Definisi Uṣul fiqih diatas, menggambarkan bahwa yang menjadi objek kajian
para ahli Uṣul fiqih adalah dalil-dalil yang bersifat ijmali (global), seperti, kehujahan ijma’ dan qiyas. Uṣul
fiqih juga membahas bagaimana cara mengistinbathkan hukum dari dalil-dalil,
seperti kaidah mendahulukan naṣdari zhahir. Dalam Uṣul fiqih dibahas pula
syarat-syarat orang yang menggali hukum dari dalil.Selain itu, dalam pembahasan
Uṣul fiqih juga dibahas syarat-syarat mujtahid dan persoalan yang berkaitan
dengan masalah taklid.
Mayoritas Uṣūliyyun yang terdiri dari ulama madhhab
Hanafi , Maliki dan Hambali mendefinisikan Uṣul fiqihadalah Ilmu tentang kaidah-kaidah yang dapat
digunakan untuk mengistinbathkan hukum-hukum shara’ yang bersifat praktis melalui
dalil-dalil yang rinci.[5]
2. Sejarah Munculnya Ilmu Uṣul fiqih
Persoalan yang dihadapi umat Islam
selalu tumbuh dan berkembang, demikian pula kepentingan dan keperluan hidupnya.Kenyataan
menunjukan bahwa banyak kejadian yang tidak terjadi pada masa Rasulullah SAW,
yang muncul dan terjadi pada masa-masa sesudahnya.Bahkan, ada beberapa
peristiwa yang terjadi tidak lama setelah masa Rasulullah wafat. Seandainya
tidak ada dalil yang dapat memecahkan hal-hal yang demikian berarti akan
sempitlah kehidupan manusia.[6]
Sejarah munculnya ilmu Uṣul fiqih
tidak terlepas dari perkembangan hukum Islam sejak masa Rasulullah hingga masa
tersusunnya ilmu Uṣul fiqih sebagai sebuah disiplin ilmu pada abad ke-2 H. Pada
masa Rasulullah, sumber hukum Islam hanya ada dua, yaitu Alquran dan Sunnah.
Apabila muncul suatu kasus, beliau menunggu datangnya wahyu yang akan
menjelaskan hukumnya. Jika tidak ada wahyu yang turun, beliau menetapkan
hukumnya berdasarkan sabdanya yang kemudian disebut dengan Hadis atau Sunnah.
Dari beberapa penelitian yang
dilakukan oleh para ulama terhadap peristiwa hidup Rasulullah SAW, menunjukan
bahwa beliau melakukan ijtihad dan memberi fatwa berdasarkan pendapatnya
pribadi tanpa wahyu.Khususnya, pada masalah-masalah yang tidak berhubungan
langsung dengan hukum dan tidak ada wahyu yang menjelaskannya. Seperti,
Beliaubersabda: Sesungguhnya saya
memberi keputusan kalian dengan pendapatku, jika wahyunya tidak turun kepadaku.[7]
Akan tetapi, apabila hasil ijtihad
beliau salah, Allah SWT langsung menurunkan wahyu yang tidak membenarkan hasil
ijtihadnya dan menunjukan kepada yang benar, seperi dalam kasus tawaran perang
Badar.Dalam memutuskan permasalahan ini, beliau bermusyawarah dengan para
sahabatnya.Abu Bakar menyarankan agar mereka dibebaskan dengan syarat membayar
tebusan.Sedangkan Umar berpendapat agar semua tawanan dibunuh saja.Kemudian,
Rasulullah memutuskan untuk meneriama saran Abu Bakar.Setelah itu turunlah QS.
Al-Anfal (8): 67 yang tidak membenarkan pilihan beliau tersebut dan menunjukan
kepada yang benar,[8]
sebagai berikut:
$tBc%x.@cÓÉ<oYÏ9br&tbqä3tÿ¼ã&s!3uó r&4Ó®LymÆÏ÷WãÎûÇÚöF{$#4crßÌè?uÚttã$u÷R9$#ª!$#urßÌãnotÅzFy$#3ª!$#urîÍtãÒOÅ3ymÇÏÐÈwöq©9Ò=»tGÏ.z`ÏiB«!$#t,t7yöNä3¡¡yJs9!$yJÏùöNè?õs{r&ë>#xtã×LìÏàtãÇÏÑÈ(#qè=ä3sù$£JÏBöNçFôJÏYxîWx»n=ym$Y7ÍhsÛ4(#qà)¨?$#ur©!$#4cÎ)©!$#ÖqàÿxîÒOÏm§ÇÏÒÈ
Artinya:
Tidak patut, bagi seorang nabi mempunyai
tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. kamu menghendaki
harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu).
dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (67). Kalau
Sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu
ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil(68). Maka makanlah
dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu, sebagai makanan yang
halal lagi baik, dan bertakwalah kepada Allah.Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang (69).
Adapun beberapa contoh kasus ijtihad lainnya
yang dilakukan oleh Rasulullah
SAW langsung adalah
sebagai berikut:
a. Penolakan
seorang laki-laki atas kelahiran seorang anak dari Bani Fazarah yang dilahirkan
dari istrinya karena anak tersebut berkulit hitam, sedangkan ayah ibunya
berkulit putih. Orang tersebut menyampaikan masalahnya kepada Nabi SAW. Lalu
Nabi SAW menjawab dengan bahasa analogi dengan mengajukan pertanyaan kembali:
Apakah engkau memiliki unta merah yang di antara anaknya berwarna hitam? Orang
itu menjawab: Benar. Nabi SAW bertanya kembali: Darimana datangnya warna hitam
pada ontamu? Orang tersebut menjawab kembali: Boleh jadi adanya pengaruh keturunan.
Kemudian Naabi SAW menegaskan: Hal ini juga (keadaan anakmu yang berwarna hitam
dari kedua orang tua berwarna putih) boleh jadi disebabkan karena factor
keturunan.[9]
b. Kasus
penyesalan Umar ibn Khattab atas perbuatannya yang dianggap membatalkan puasa.
Pada suatu hari Umar ibn Khattab memeluk dan mencium istrinya, sementara ia
telah melaksanakan ibadah puasa. Kemudian Umar ibn Khattab menyampaikan hal
tersebut kepada Nabi SAW seraya berkata: Sungguh aku telah melakukan perbuatan
luar biasa (mencium istriku dalam kondisi puasa). Nabi SAW menjawab dengan
diplomatis: Bagaimana jika engkau berkumur-kumur padahal engkau berpuasa? Lalu
Umar menjawab dengan tegas: “Menurut pendapatku, tidak membatalkan wudlu”.
Kemudian Nabi SAW bersabda: Teruskan puasamu.[10]
d. Kasus yang terkait
dengan dua orang sahabat Nabi SAW dalam perjalanan jauh, mereka berdua
melaksanakan shalat tanpa wudlu dan bertayammum karena tidak memperoleh air.
Setelah melaksanakan shalat, tiba-tiba mereka mendapatkan air.Salah satu
sahabat mengulangi shalat karena waktu shalat masih ada dengan berwudlu kembali
sebelum shalat. Sahabat Nabi yang lain tidak mengulangi shalatnya karena ia
berkeyakinan shalatnya sah. Ketika berjumpa dengan Nabi SAW mereka menceritakan
apa yang mereka lakukan di tengah perjalanan yang tidak mendapat air ketika
akan shalat. Maka Rasulullah SAW menjawab: Kalian berdua benar. Kepada yang
tidak menglangi shalatnya, Rasulullah SAW bersabda; Kamu memperolah satu
pahala. Sedangkan kepada yang mengulangi
shalatnya, Rasulullah SAW bersabda: kamu memperoleh dua pahala.[11]
Kegiatan ijtihad pada masa ini,
tidak saja dilakukan oleh Rasulullah, tetapi beliau sendiri mengijinkan para
sahabatnya untuk melakukan ijtihad dalam memutuskan suatu perkara yang belum
ada ketentuan hukumnya dalam Alquran dan Sunnah, seperti dalam HadisMu’adh bin
Jabal, sebagai berikut:
كيف تقضى إذا عرض
لك القضاء؟ قال: أقضى بكتاب الله، قال: فإن لم تجد فى كتاب الله؟ قال: فبسنة رسول
الله، قال: فإن لم تجد بسنة رسول اللهه ولا فى كتاب الله؟ قال: أجتهد رأ ى ولا
آلو، فضرب رسول الله صلى الله عليه و سلم
بيده على صدره ، وقال: الحمد لله الذى وفق رسول رسول و لما يرضى رسول الله (رواه أبو داود).[12]
Artinya: Bagaimana cara memutuskan perkara jika diajukan masalahkepadamu?
Muaz menjawab : Aku akan memutuskan
(perkara tersebut) berdasarkan Kitab Allah (al-Qur’an). Nabi bertanya: Jika
kamu tidak mendapatkan dalam Kitab Allah? Muaz Menjawab: aku akan putuskan
berdasarkan sunnah Rasulullah SAW. Nabi SAW bertanya kembali: Kalau tidak kamu
jumpai dalam sunnah Rasulullah SAW dan Kitab Allah? Muaz menjawab: Aku akan
ijtihad dengan seksama. Kemudian Rasulullah SAW menepuk-nepuk dada Muaz dengan
tangannya seraya berkata: Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk
kepada utusan Rasulullah SAW terhadap apa yang diridhai Nya. (HR. Abu Dawud)
Kegiatan
ijtihad yang terjadi pada masa ini, mempunyai hikmah yang sangat besar.Yaitu,
memberikan inspirasi terhadap para sahabat dan para ulama dari generasi
berikutnya untuk melakukan ijtihad dalam menghadapi kasus-kasus yang tidak
terdapat ketetapan hukumnya dalam Alquran.
Pada masa tābi’ut tābi’ῑn dan para
imam mujtihid, yakni sekitar abad ke-2 dan abad ke-3 H, wilayah kekuasaan Islam
bertambah luas, sehingga mereka bertebaran ke wilayah-wilayah tersebut. Hal
ini menyebabkan munculnya peristiwa-peristiwa yang ketetapan hukumnya tidak
terdapat Alquran dan Sunnah.
Oleh
karena itu, para ulama yang tinggal didaerah tersebut melakukan ijtihad untuk
mencari ketetapan hukumnya.Kenyataan ini mendorong para ulama untuk menyusun
kaidah-kaidah shari’yah yang berhubungan dengan tujuan dasar-dasar shara’ dalam
menetapkan hukum.Selain itu, mereka juga menyusun kaidah-kaidah lughawiyahatau kebahasaan, agar dapat
memahami naṣ-naṣshara’ sebagaimana dipahami oleh kaum muslimin sewaktu turun
atau datangnya naṣ-naṣ tersebut.[13]
Dengan disusunnya kaidah-kaidah shar’iyah
dan lughawiyah dalam berijtihad pada abad
ke-2 H, maka telah terwujudlah ilmu Uṣul fiqih. Menurut Ibnu Nadhim, ulama yang
pertama kali menyusun kitab tentang ilmu Uṣul fiqih adalah Imam Abu Yusuf murid
Imam Abu Hanifah. Akan tetapi, kitab ini tidak sampai kepada kita.Sedangakan
menurut Abdul Wahhab Khalaf, ulama yang pertama kali membukukan kaidah-kaidah
ilmu Uṣul fiqih dan disertai dengan alasan-alasannya adalah Muhammad ibn Idris al-
Shafi’i dalam sebuah kitab yang berjudul al-Risālah.Kitab
yang terakhir ini adalah kitab Uṣul fiqih yang pertama kali sampai kepada kita.
Oleh karena itu, ia terkenal di kalangan para ulama sebagai pencetus munculnya
ilmu Uṣul fiqih. Pembahasan ilmu Uṣul fiqih ini kemudian diteruskan oleh para
ulama generasi berikutnya.[14]
4.
Kegunaan Ilmu Uṣul fiqih
Uṣuliyyun berpendapat bahwa tujuan utama Uṣul fiqih
adalah untuk mengetahui dalil-dalil shara’ yang menyangkut permasalahan akidah,
ibadah, mu’amalah, uqubah (sangsi)
dan akhlak. Pengetahuan tentang
dalil-dalil tersebut pada gilirannya dapat diamalkan sesuai dengan hukum yang
terdapat dalam Alquran dan Hadis.Oleh karena itu, uṣuliyyun menatakan bahwa Uṣul
fiqih bukan merupakan tujuan, tetapi hanya sebagai sarana untuk mengetahui
hukum-hukum Allah SWT pada setiap kasus.Sehingga, dapat dipedomani dan
diamalkan sebaik-baiknya.Dengan demikian, yang menjadi tujuan sebenarnya adalah mempedomani dan mengamalkan
hukum-hukum Allah SWT yang diperoleh melalui kaidah-kaidah Uṣul fiqih tersebut.[15]
Secara
sistematis, uṣuliyyun mengemukakan kegunaan Uṣul fiqih,
yaitu antara lain sebagai berikut:
1)
Memahami
agama, sehingga seorang mukallaf mengetahui apa yang menjadi hak dan kewajiban
yang didasarkan pada pemahaman uṣul fiqih
dan penerapan kaidah-kaidahnya berdasarkan dalil-dalil terperinci pada
masalah-masalah baru particular;
2)
Mengetahui kaidah-kaidah dan cara-cara yang digunakan mujtahiddalam
memperoleh hukum melalui metode ijtihad yang mereka susun;
3)
Memberikan gambaran mengenai syarat-syarat yang harus dimiliki seorang mujtahid,
sehingga dengan tepat ia dapat menetapkan hukum-hukum shara’ dari naṣ, dan
dengan Uṣul fiqih mayarakat awam dapat mengerti bagaimana para mujtahid
menetapkan hukum;
4)
Memelihara agama dari kemungkinan penyalahgunaan
dalil. Dalam Uṣul fiqih, sekalipun suatu hukum diperoleh melalui hasil ijtihad,
tetapi statusnya tetap mendapatkan pengakuan Shara’. Melalui Uṣul fiqih para ulama
mengetahui mana sumber hukum Islam yang asli yang harus dipedomani dan mana
yang merupakan sumber hukum Islam yang bersifat sekunder yang berfungsi untuk
mengembangkan shari’at sesuai dengan kebutuhan masyarakat Islam;
5)
Menyusun kaidah-kaidah umum yang dapat diterapkan untuk menetapkan hukum
dari berbagai persoalan sosial yang terus berkembang;
6)
Mengetahui kekuatan dan kelemahan suatu pendapat sejalan dengan dalil yang
digunakan dalam berijtihad, sehingga ulama dapat melakukan tarjih
(penguatan) salah satu dalil atau pendapat tersebut mengemukakan alasannya.[16]
Beberapa faedah
tersebut di atas dapat diringkas dengan bahasa sederhana bahwa manfaat praktis
dari uṣul fiqih adalah untuk menetapkanhukum-hukum shara’ tentang perbuatan mukallaf
berdasarkan dalil-dalilnya terperinci.
Dengan kata lain, perubahan dan perkembangan zaman dan
juga dengan bervariasinya kondisi sosial di berbagai daerah adalah
faktor-faktor yang sangat memungkinkan penyebab tumbulnya persoalan-persoalan
baru yang tidak dijumpai ketetapan hukumnya dalam Alquran dan Sunnah. Untuk
itu, agar dapat mengeluarkkan ketatapan hukum atas persoalan-persoalan
tersebut, seseorang harus mengetahui kaidah-kaidah dan maupun menerapkan pada
dalil-dalilnya.
Banyak persepsi yang keliru di
kalangan umat Islam yang memahami bahwa faedah terbesar uṣul fiqih adalah memproduk fiqih atau hukum Islam semata. Padahal
yang benar adalah bahwa disiplin ilmu ini sangat dibutuhkan oleh kalangan
mufassirῑn, muhaddithῑn dan Mutakallimῑn (teolog) dan para peneliti idiologi
dan setiap orang atau pihak yang memerlukan pemahaman terhadap naṣ dan cara
penetapan hukum Islam yang bersumber pada naṣ.[17]
4. Pendekatan dalam Ilmu Uṣul fiqih
Uṣuliyyun berbeda pendapat dalam menggunakan pendekatan pada kajian uṣul fiqih. Ada aliran yang menggunakan
aliran deduktif dan sebagian
menggunakan pendekatan induktif. Perbedaan utama antara kedua pendekatan ini lebih pada masalah orientasi
ketimbang masalah substansi. Kelompok pertama berhubungan dengan pengungkapan
dokterin-dokterin tertulis dan kelompok yang kedua lebih bersifatpragmatis
dalam pengertian bahwa teori diformulasikan dalam kerangka penerapan terhadap
masalah-masalah yang relevan
dan kontekstual. Perbedaan antara kedua pendekatan ini menyerupai karya seorang perumus
hukum jika dibandingkan dengan karya seorang hakim. Aliran pertama berhubungan
dengan pengungkapan prinsip-prinsip, sementara aliran yang kedua cenderung
kepada pengembangan sintetis antara prinsip dan realitas.[18]
Kajian uṣul fiqih
dengan pendekatan teoritis atau induktif cenderung menganggap uṣul fiqih
sebagai disiplin yang berdiri sendiri, dimana fiqih harus menyesuaikan diri,
sementara pendekatan deduktif berusaha mengaitkan uṣul fiqih secara lebih dekat
kepada masalah-masalah detail. Pendekatan teoritis dalam kajian Uṣul fiqih
ditempuh oleh madhhab Syafi’i dan mutakallimun (para ulama kalam dan
Mu’tazilah). Sedangkan pendekatan deduktif ditempuh oleh uṣuliyyun dari madhhab
Hanafi. Istilah yang diberikan kepada kelompok pertama adalah uṣul
asy-Syafi’iyyah atau thariqah al-Mutakallimun dan kelompok yang
kedua dinamakan uṣul al-Hanafiyyah atau thariqah al-Fuqaha.[19]
Di antarabuku-bukuuṣul fiqih dari aliran yang menggunakan
pendekatan teoritis adalah sebagai berikut:[20]
(1المعتمدة فى
أصول الفقه، المؤلف : أبو الحسين محمد بن على البصرى المعتزلى الشافعى (م. 463 ه)
2(البرهان
فى أصول الفقه ، المؤلف : أبو المعالى عبد المالك بن عبد الله الجوينى بن يوسف النيسبورى
الشافعى، المشهور بالإمام الحرمين (م. 487 ه)
(3المستشفى من
علم الأصول، المؤلف : أبوحميد محمد بن محمد الغزالى الشافعى (م.505
ه)
،etiga kitab tersebut di atas hingga saat ini masih bias jita jumpai
di berbagai perpustakaan Islam baik di lingkungan IAIN, IUN, STAIN maupun
perpustakaan Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (PTAIS), Perpustakaan di
berbagai Pondok Pesantren baik tradisional maupun moderen lainnya. Ketiga buku
uṣul fiqih ini juga menjadi rujukan dari berbagai
karya ilmiah di bidangnya.
Sedangkan kitab-kitab Uṣul fiqih yang disusun oleh aliran
yang menggunakan metode deduktif adalah:
1
(فى
الأصول الكرخى، المؤلف : أبوالحسن الكرخى (م. 340
ه)
(2الجصاص، المؤلف
: أبوبكر الرازى (م. 370 ه)
3)أصول البزدوى ، المؤلف : فخر الإسلام البزدوى (م. 483 ه)
(4أصول السرخسى، المؤلف
:شمس الدين السرخسى (م. 483 ه)
Fase berikutnya dalam perkembangan Uṣul fiqih ditandai dengan adanya usaha
untuk mengkombinasikan pendekatan teoritis atau induktif dan deduktits, yakni dengan menetapkan kaidah,
memperhatikan alasan-alasan yang kuat dan memperhatikan pula persesuaiannya dengan
hukum-hukum cabang (furu’). Di antara ulama yang
melakukan hal ini adalah:[21]
1)بدائع النظام ، المؤلف : مزحفرالدين أحمد بن على
الساعتى البغدادى (م. 694 ه)
2)الإحكام فى أصول الأحكام ، المؤلف : البزدوى
3)تنكيح الأصول،المؤلف :شدرسى الشرية عبيد
الله بن مسعود البخارى الحنفى (م. 747 ه)
4)الجامع الجوامع، المؤلف :تاج الدين عبد الوهاب بن
السبكى الشافعى (م. 771 ه)
5)التحرير، المؤلف : كمال الدين محمد عبد الواحد
المشهور ابن الهمام (م. 861ه)
6)الموافقات فى أصول الشريعة ، المؤلف : أبو إسحاق
إبراهيم الشاطبى (م. 790ه)
5. Kedudukan Uṣul fiqih dalam Pengembangkan Metodologi Ilmu Ekonomi Islam
Pengembangan yang
digunakan dalam metodologi[22]ilmu ekonomi Islam berbeda dengan pengembangan yang
digunakan dengan metodologi ilmu
ekonomi konvensional. Pengembangan yang digunakan metodologi ekonomi konvensional
berdasarkan pada gejala-gejala ekonomi yang muncul dan bagaimana pengamatan
yang telah dilakukan oleh para ahli ekonomi. Dalam Islam, metodologi
dikembangkan dari pemahaman bahwa alam dan isinya adalah ciptaan Allah SWT, maka aturan-aturan
yang terdapat dalam Alquran yang paling pantas untuk dilaksanakan. Oleh karena itu, metodologi ekonomi
konvensional dikembangkan dari interpretasi manusia tentang manusia dan realita
kehidupan. Sedangkan metodologi ekonomi Islam, dikembangkan dari ajaran-ajaran Islam
yang bersumber dari Alquran, Sunnah, dan Ijtihad.[23]
Sebagai salah satu disiplin ilmu shari’yah,
Uṣul fiqih mencangkup kajian-kajian tentang sumber-sumber hukum dan metodologi
pengembangannya. Akan tetapi, diluar paradigma spesifiknya ini, orang dapat
mengatakan bahwa Uṣul fiqih memberikan pedoman-pedoman dalam pengkajian dan
pemahaman yang benar pada hampir semua cabang kajian Islam, termasuk pada
disiplin ilmu ekonomi.
Para
ulama sepakat bahwa fiqih bermacam-macam
jenisnya, seperti fiqih ibadah, fiqih munakahahat (perkawinan), fiqih mu’amalah,
fiqih siyasah (politik), fiqih iqtiṣadiyah (hukum ekonomi), fiqih
daulah (hukum tata negara) dan lainnya. Walaupun fiqih berhubungan dengan
hukum-hukum Islam yang bersifat praktis, tetapi teori-teorinya dapat diterapkan
dan dikembangkan dalam masalah ekonomi yang tercakup dibawah fiqih mu’amalah.
Selain itu, para ahli tafsir, fiqih dan ilmu kalam juga telah menjelaskan
nilai-nilai Islam dan penerapannya dalam masalah ekonomi.[24]
Para
ekonom muslim beranggapan bahwa nilai-nilai Islam sudah mulai mewarnai
penerapan ilmu ekonomi di era moderen.
Akan tetapi, hal ini diperlukan adanya elaborasi metodologi ekonomi yang tepat. Kemudian metodologi ini
dikembangkan dalam ilmu Uṣul fiqih dan mengaitkannya dengan ilmu ekonomi
konvensional seperti halnya pada beberapa disiplin ilmu yang lain.[25]
Penerapan Uṣul fiqih dalam metodologi
ekonomi Islam dapat menggunakan beberapa metode, seperti qiyas[26](analogy), istihan[27] dan maslahah
mursalah[28]
atau istiṣlah. Walaupunuṣuliyyun mempunyai beragam pandangan dalam
menyikapinya. Misalnya, madhhab Syafi’i menjadikan qiyas dijadikan
sebagai sumber hukum Islam yang keempat. Sedangkan, Mu’tazilah dan kelompok Zaidiyyah
dari aliran Shi’ah menolak penggunaan qiyas sebagai sumber hukum.
Berbeda dengan dua kelompok ini, madhhab Hanbali mempunyai pendapat lain. Mereka mengatakan bahwa menetapkan hukum
berdasarkan Hadismursal itu lebih baik dari pada menggunakanqiyas.[29]
Adapun kelompok yang menjadikan qiyas sebagai dasar penetapan hukum
Islam adalah bahwa salah satu ciri
ajaran Islam adalah menghilangkan kesukaran (daf’u al-harj). Jika qiyas
tidak dianggap sebagai salah satu landasan penetapan hukum, maka berlakunya
hukum Islam dalam wilayah sangat terbatas dan menyebabkan kesulitan bagi
pemeluknya.
Qiyas ada dua macam, yaitu qiyas jali dan qiyas
khafi.[30] Jika qiyas jali
tidak mempu menyelesaikan permasalahan yang ada, maka penyelesaiannya dapat
menggunakan qiyas khafi. Tujuannya adalah untuk memberi kemudahan kepada
umat Islam dan menegakan kemaslahatan dan keadilan. Sungguhpun demikian, jika
semua metode-metode hukum diatas, belum dapat menyelesaikan permasalahan
ekonomi dan keuangan, maka dapat menggunakan metode maslahah mursalah
atau istiṣlah yang populerkan penggunakan oleh Imam al-Syatibi dari madhhab
Maliki. Metode ini juga digunakan oleh sebagian ulama madhhab Syafi’i seperti
Imam al-Taufail, al-Ghazali dan al-Amidi. Penerapan metode istislah
dalam ekonomi Islam, seperti penerapan teori kepuasan masyarakat dalam ekonomi
konvensional.[31]
Munculnya
metodologi dalam ilmu ekonomi konvensional yaitu ketika ilmu ekonomi ini
sendiri relatif mapan dan telah mengalami perkembangan yang cukup berarti. Oleh
karena itu, keberadaan metodologinya adalah untuk menjustifikasi atau
mengabsahkan keberadaan ilmu ekonomi sekaligus dengan praktek-praktek
empirisnya. Hal ini dapat difahimi bahwa situasi yang selalu berubah, menjadi
dasar dari kemapaman ilmu ekonomi. Konsekwensinya, bila kelak terjadi perubahan
mendasar terhadap praktek perekonomian secara global, maka ia juga akan mencari
alat justifikasi yang baru dan sesuai, atau sebaliknya mengalami situasi yang
tragis dan sulit untuk dibayangkan.[32]
Sedangkan Islam, ia
membangun metodologinya terlebih dahulu. Dalam konteks ini misalnya berbentuk uṣulfiqih,
baru kemudian ilmu fiqih yang tercangkup didalamnya fiqih mu’amalat
dengan berbagai kategorinya yang berkembang mengikuti metodologi.
Dari sini pula suatu sistem kemudian
memperoleh berbagai momentum sejarahnya melalui berbagai bentuk baik teori
maupun empiris.
Para pemikir Muslim,
seperti Ibnu Sina, Ibnu Khaldun, Imam Ghazali, Imam Abu Hanifah berserta kedua
muridnya yaitu Imam Abu Yusuf dan Imam Syaibani, Imam Malik, Ibn Taymiyyah dan
nama-nama lain yang jumlahnya tidak terhitung telah memformulasikan berbagai
perangkat dalam mekanisme ekonomi yang banyak dipakai
ilmu ekonomi
konvensional saat ini.[33]
Sejarah membuktikan bahwa metode yang dipakai para ulama terdahulu
kebanyakan mempergunakan metoda penalaran dalam menghadapi suatu kasus tidak
ditemukan jawabannya dalam Alquran, as-Sunnah maupun ijma’. Kemudian,
mereka menggunakan berbagai bentuk analisa seperti qiyas, istihsan, masalih
al-mursalah dan sebagainya. Dengan demikian, senantiasa merujuk pada sumber
utama terlebih dahulu jika terdapat permasalahan yang ingin
dipecahkan, yaitu Alquran dan as-Sunnah. Kemudian, beralih kepada ijma’
atau langsung melakukan ijtihad dengan beberapa pendekatan yang secara
garis besar terbagi dua.[34]
Mudhhab
Syafi’i, yang termasuk dalam kategori kelompok Mutakallimun (Para Teolog) dan
kelompok Mu’tazilah lebih banyak mempergunakan pendekatan teoritis atau
pendekatan induktif. Dengan pendekatan ini, mereka berharap dapat menjadikannya
sebagai standar dalam penyelesaian permasalahan-permasalahan empiris. Metode
ini disebut juga uṣul al-Syafi’iyyahatau thariqah al-Mutakallimun.
Pendekatan ini lebih menekankan eksposisi teori dengan berbagai prinsipnya yang
kemudian diformulasikan secara detail ke dalam hukum fiqih. Pendekatan ini
tidak terlalu memperdulikan apakah formulasi detail ini akan bersentuhan
langsung dengan persoalan praktis ataupun tidak. Untuk yang terakhir ini
contohnya adalah sebagai persoalan kenabian.
Sebaliknya,
uṣul al-Hanafiyyah atau thariqah al-fuqaha yang dikembangkan oleh
madhhab hanafi, mempergunakan metode deduktif dengan memformulasikan doktrin
teori yang sesuai dengan problem-problem yang relevan dalam masyarakat, sehingga
terkesan lebih pragmatis.
Jadi,
melalui metodologi yang dikenal dalam Uṣul fiqih inilah kemudian
diproduksi hukum-hukum yang memuat semua ketentuan fiqih.Fiqih ini juga
diklasifikasikan ke dalam beberapa katagori, salah satunya adalah fiqih
mu’amalah yang memuat ketentuan hukum transaksi perdagangan dan ekonomi.
Jika
suatu masalah tidak dijumpai jawabannya melalui sumber-sumber hukum diatas,
khususnya dalam transaksi perdagangan dan ekonomi, maka para ulama mencari
alternatif melalui istislah. Imam Malik dan kalangan Madhhabnya lebih
banyak mempergunakan metode istiṣlah atau masalih al-mursalah.
Istislah merupakan pengambilan hukum yang berdasarkan kepada kepentingan
umum (public interest) yang tidak terbatas, namun dengan beberapa syarat yang
ketat. Ia dibedakan dari yang secara terang diakui oleh Syari’at atau dikenal maṣalih
al-mu’tabarah, seperti melindungi kepentingan lima kebutuhan dasar (ḍaruriyat
al-khamsah) yaitu: agama; kehidupan; akal; keluarga; dan harta benda.
Alasan utama dalam pemakaian hukum ini adalah bahwa Allah SWT menurunkan Shari’at
untuk menyediakan kemudahan bagi manusia dalam melaksanakan ajaran-ajaranNya.
Teori pengambilan hukum ini juga banyak diterima oleh kalangan Syafi’iyyah
seperti at-Thufi, al-Ghazali dan juga al-Amidi.
Pembahasan
dalam makalah ini tentunya tidak cukup untuk mengkaji semua persoalan-persoalan
dalam Uṣul fiqih. Ada beberapa sumber hukum tambahan didalamnya yang
tidak dapat dibahas dalam makalah ini. Yang amat penting untuk disampaikan
adalah bahwa melalui dua sumber hukum yang terakhir ini, persoalan ekonomi yang
dihadapi manusia moderen mendapatkan tempat penyelesaian
sesuai dengan ketentuan Shari’yah, dengan melalui proses pemikiran dan
perenungan berdasarkan syarat-syarat ketat sebagaimana diatas.
Contoh
pemakaian metode istihsan dalam ekonomi, jika Umar dan Usman membentuk partnerṣip
dengan usaha penjualan rumah angsuran, dengan sistem profit dan loss ṣaring (PLS).
Misalnya Ali kemudian membeli dengan menyerahan uang muka katakan Rp
10.000.000, yang diterima Umar atas nama mereka berdua. Tiba-tiba uang tersebut
hilang ketika dibawa oleh Umar. Maka berdasarkan ketentuan Qiyas jalli,
kerugian atas kehilangan itu ditanggung mereka berdua berdasar sistem PLS.
Namun demikian, berdasarkan ketentuanIstihsan, hanya Umarlah yang
menaggungnya, karena uang tersebut statusnya masih dibawah pengawasan Umar.[35]
Sedangkan contoh untuk metode Istislah ini juga banyak ditemukan
penerapannya pada para sahabat seperti pengumpulan zakat oleh Khalifah Abu
Bakar, ṣalat tarawih dilaksanakan secara berjama’ah pada masa Umar, penulisan Alquran
pada masa Utsman dan lain-lain.[36]
Sampai
disini, barangkali semua kalangan umat Islam sepakat. Persoalan muncul kemudian
ketika sistem ekonomi yang dominan saat ini berorientasi pada materialisme dan
ditopang oleh mapannya landasan teoritik ilmu ekonomi yang kuat. Secara
metodologis ada dua issu mendasar yang muncul, pertama, tentang
bagaimana kita mendefinisi ilmu ekonomi Islam,
berimplikasi pada munculnya pertanyaan tentangsejak kapan ilmuekonomi Islam
berlangsung, yang telah terjawab dengan singkat bagian diatas. Kedua,
konsekwensinya, tentang bagaimana menurunkan ketentuan Shari’yah menjadi alternatif
solusi bagi perkembangan ekonomi moderen. Apakah untuk kasus ilmu ekonomi,
kemudian Islamisasi merupakan jalan penyelesaian yang tepat, dan bagaimana
berikutnya.
Ini bukanlah masalah yang sederhana, sehingga tulisan ringkas ini tidak
mungkin mampu menampilkan pembahasan yang luas. Namun demikian, bukan berarti
harus ditinggalkan begitu saja, melainkan mendaparkan perhatian dan dibahas
secukupnya.
Dan
bila proses Islamisasi merujuk pada prosedur diatas, maka Islamisasi adalah
sebuah keniscayaan yang tidak dapat ditunda. Sebaliknya, bila Islamisasi
ternyata hanya akan lebih menempatkan Islam sebagai alat justifikasi atas
praktek-praktek ekonomi yang ada, Allahlah yang akan menjadi saksi. Keduanya
memiliki konsekwensi yang amat berbeda, dan keduanya juga memiliki
kecenderungan bagi keberlangsungannya.
6. Solusi Alternatif
Islamisasi
dan metodologi sesungguhnya dua hal yang berbeda. Akan tetapi, karena proses Islamisasi
dalam konteks ini menyangkut persoalan yang bersifat metodologis, maka Islamisasi
perlu dikaitkan dalam pembahasan ini.
Penggunaan
alat analisa pengetahuan moderen dapat terlihat pada klaim Faruqi
terhadap Islamisasi pengetahuan, yang dalam hal ini ia pertegas secara
sistematik melalui dua belas langkahnya.[37]
Dalam bidang ilmu ekonomi dikembangkan dengan meminjam pendekatan Lakatosian
scientific research programme (SRP), oleh Muhammad Arif[38],
yang secara metodologis menyepakati ketergantungan ilmu sosial pada ilmu alam.
Hanya notion tentang Islamisasi tempaknya masih belum menyinggung lebih
jauh tentang model kuantitatif yang paling mungkin untuk kepentingan ilmu ekonomi.
Untuk tujuan
analisis, ajaran-ajaran Islam harus dibedakan menjadi dua kategori. Pertama,ajaran
Islam yang thabit (tidak boleh berubah) berdasarkan pada aturan Shari’yah,
semisal aplikasi zakat pada investasi, ketiadaan elemen gharar dan
sebagainya. Kedua, ajaran Islam yang mutaghayyir (boleh berubah),
diambil dari observasi empirik seperti bentuk kompetisi, investasi, sistem bagi
hasil dan sebagainya.
C. KESIMPULAN
Dari paparan beberapa variabel jakian Uṣul fiqih di atas
dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1)
Uṣul
fiqih adalah kaidah-kaidah hukum yang berfungsi sebagai media untuk memahami,
menggali dan menetapkan hukum Islam yang bersifat tafṣilῑ (rinci) yang
bersumber dari Alquran dan sunnah. Adapun dasar hukumnya adalah Alquran, sunnah
serta Ijma’ ṣahabi dan Qiyas. Kedua sumber hukum terakhir ini (Ijma’ ṣahabi dan
Qiyas) oleh sebagian Uṣuliyyun juga dianggap sebagai metode penetapan hukum
Islam dan bukan sumber hukum Islam.
2)
Sejarah munculnya ilmu uṣul fiqih diawali dengan apa yang dilakukan
Rasulullah SAW ketika menghadapi suatu pertanyaan dari sahabat tentang masalah
hukum dan naṣ Alquran maupun sunnah belum berbicara solusinya, sehingga beliau
berijtihad dan tidak jarang ijtihadnya dikuatkan dengan turunnya wahyu. Kegiatan
ijtihad ini berlanjut di kalangan sahabat, tabi’ῑn dan tabi’u al- tabi’ῑn dan seterusnya hingga hari ini dan
tersusun metodologi yang konstruktif baik di kalangan madhhab maupun umat
Islam.
3)
Ilmu
ekonomi Islam atau ekonomi Islam adalah disiplin ilmu yang tumbuh dan
berkembang seusia peradaban umat manusia. Karena ia merupakan kebutuhan primer
dalam inti kehidupan umat manusia, ilmu ini mengalami dinamika perkembangan
sesuai perkembangan peradaban masyarakat berprilaku ekonomi. Islam hari ini
yang mayoritas dipeluk oleh komunitas masyarakat yang berada di dunia ketiga (Negara berkembang), tidak
jarang mereka lebih terbiasa berprilaku ekonomi dan berprinsip ekonomi ribawi
sebagai dampak romantisme negara jajahan Barat. Mengembalikan fikroh islamiyah
dan membangun paradigma ekonomi Islam adalah keniscayaan melalui pendekatan uṣuli
baik dengan pendekatan metode qiyasi, istihsani maupun istiṣlahi untuk segera
mengentaskan umat Islam dari kubangan ekonomi ribawi menuju ekonomi rabbani
yang diriḍai Allah SWT. Amiin.
DAFTAR PUSTAKA
Abd al-Wahhab al-Khallaf, Ilm Uṣul Fiqih, Kuwat:
Dār al-Qalam, 2001
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Damaskus,
Dār al-Qalam, 1997
Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustaṣfa fi ‘Ilmi
al-Uṣul, Beriut, Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, jilid I, 1983
Akh. Minhadji “Reorientasi Kajian Ushul Fiqh”
dalam Restrukturisasi Metodologi Islamic Studies Mazhhab Yogyakarta,
Cet. ke 1, Yogyakarta: Suka Press, 2007
Al-Allāmah
al-Bannani, Hasyiah al-Bannani ‘ala Syarh al-Mahalli ‘ala
Matn Jami’ al-Jawami’ jilid I, (Beirut: Dār Al Fikr) 1402 H/1982 M
Ibn
Qayyim al-Jauziyah, I’lamul Muwaqi’in an Rabbil ‘Alamin, Juz I, Beirut:
Dār al-Jail, t. th.
Imam al-Darimi, Sunan al-Darimi, Juz
II, Beirut: Dār al-Fikr, t. th.
Imam Muslim, Shahῑh Muslim, Jilid IV, Damaskus, Dār Al-Fikr, 2006
Ismail Raji
al-Faruqi, Islamization of Knowledge General Principle and Workplan,
Brantwood, Meryland: International Institute of Islamic Thought, 1402 H/1982 M
Iyad
ibn Nami al-Salma, Uṣūl fiqih alladhi la yasa’u al-Faqῑh Jahlahu, Riyad: Dār
Al-Tadmuriyah, 2008
Kamal Mukhat dkk, Uṣūl fiqih I,
Jakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995
Malcolm H. Kerr, Islamic
Reform: The Political and Legal Theories of Muhammad Abduh and Rasyid Ridha, Cambrigde: Cambrigde University Press, 1996
Masyhudi Muqorobin,
“Beberapa Persoalan metodologis dalam Ilmu Ekonomi: Antara Sekuler dan Islam”,
dalam Jurnal Ekonomi Sosial Pembangunan, Vol.2 No.2, (Desember 2001)
Masyhudi Muqorobin, Methodology of Economics
Comparative Study Between Islam and Conventional Perspective, makalah tidak
diterbitkan
Mortimer J. Adler, editor, The Great Books
of the western World, vol.36, Adam Smith, edisi kedua, 1990, Encyclopaedia
Britanica Inc., 1990
Muhammad Arif, “The Islamization of Knowledge and Some
Methodoigal Issues in Paradigm Building: The General Case of Social Sciences
with a Special Focus on Economics” American Journal of Islamic Social
Sciences, vol.4, i, 1978
Muhammad Hasan Haitu, al-Wajῑz fi Uṣul al-Tashri’ al-Islami, Beirut:Muassasal al-Risālah, 2006
Musthafa ibn Muhammad ibn salāmah, al-Ta’sῑs fi Uṣūl fiqih ‘ala Ḍaui al-Kitāb wa al-Sunnah, Riyaḍ: Dār
Al-Qabas, 2009
Mustofa al-Shalabi, Uṣul al-Fiqh al-Islami, Beirut:
Dār al-Nahdhah al-‘Arabiyah, 1990
Nasrun Haroen, Uṣūl
fiqih,Jakarta: Logos, 1996
Rashῑd Muhammad Musa, al-Ijtihād wa Mada Hājatuna Ilaihi fῑ
Hadha al-‘Aṣr, Mesir: Dār al-Kutub al-Hadῑthah, 1972
Rashῑd Muhammad Musa, al-Ijtihād wa Mada
Hājatuna Ilaihi fῑ Hadha al-‘Aṣr,Beirut: Dār al-Fikr,2000
Wahbah al-Zuhaili, Uṣūl fiqih al-Islami,
jilid I, Beirut: Dār al-Fikr,1996
KONTRIBUSI UṢUL FIQIH
DALAM PENGEMBANGAN EKONOMI
The
Paper is aimed to fulfill personal task of Contemporery Issuesof of Islamic Finance (CIIF)
Team Teaching:
1.
Prof. DR. H. Fathurrahman Jamil, MA
2.
Prof. DR. H. Sri Edi Swasono, M. Ec
Written
by : Syamsul Hilal
NIM :
11.3.00.1.09.01.0024
Post
Graduate School of Islamic State University of Syarif Hidayatullah Jakarta
2012
[1] Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustaṣfa fi ‘Ilmi al-Uṣul,
Beriut, Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, jilid I, 1983, h.5
[3]Al-Allāmah al-Bannani, Hasyiah al-Bannani ‘ala
Syarh al-Mahalli ‘ala Matn Jami’ al-Jawami’ jilid I, (Beirut: Dār Al Fikr) 1402 H/1982 M, h.25
[4]Al-Allāmah
al-Bannani, Hasyiah al-Bannani ‘ala Syarh al-Mahalli ‘ala
Matn Jami’ al-Jawami’ jilid I,…h.
25
[5]Musthafa ibn Muhammad ibn salāmah, al-Ta’sῑs
fi Uṣūl fiqih ‘ala Ḍaui al-Kitāb wa al-Sunnah, Riyaḍ: Dār Al-Qabas, 2009, h. 19
[8] ‘Iyad ibn Nami al-Salma, Uṣūl fiqih alladhi la yasa’u
al-Faqῑh
Jahlahu, Riyad: Dār Al-Tadmuriyah, 2008, h. 458
[9] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Damaskus, Dār al-Qalam,
1997, h. 57
[10] Imam al-Darimi, Sunan al-Darimi, Juz II, Beirut: Dār al-Fikr,
t. th. h. 13
[11] Ibn Qayyim al-Jauziyah, I’lamul Muwaqi’in an Rabbil ‘Alamin, Juz
I, Beirut: Dār al-Jail, t. th. h. 204
[13]Rashῑd Muhammad Musa, al-Ijtihād wa Mada
Hājatuna Ilaihi fῑ Hadha al-‘Aṣr, Mesir: Dār al-Kutub al-Hadῑthah, 1972, h.
41
[14]Rashῑd Muhammad Musa, al-Ijtihād wa Mada
Hājatuna Ilaihi fῑ Hadha al-‘Aṣr,Beirut: Dār al-Fikr,2000,h. 42
[16]Wahbah al-Zuhaili, Uṣūl fiqih al-Islami,
jilid I, Beirut: Dār al-Fikr,1996, h.30-31. Bandingkan dengan ‘Iyad ibn Nami al-Salma, Uṣūl fiqih alladhi la
yasa’u al-Faqῑh Jahlahu,…, h. 18-20
[19]Metode penetapan hukum Islam
dipengaruhi oleh dua corak mazhhab: 1. Doktriner-normatif-deduktif(tharῑqah mutakallimῑn) yaitu suatu pendekatan yang menekankan bahwa al-Qur’an
dan al-Sunnah sebagai sumber
ajaran yang telah disepakati dan
diyakini kebenarannya, dipahami dan diamalkan oleh ummat Islam sesuai dengan
ketentuan hukum yang terkandung di dalamnya. Ummat Islam dengan segala
aktifitas kehidupannya harus mendasarkan pada sumber ajaran tersebut dengan
tidak boleh meninggalkannya. Oleh karena demikian, tidak jarang realitas sosial yang dihadapi
ummat Islam tidak terjawab dan terselesaikan. 2. Empiris-historis-induktif (tharῑqah
hanafiyyah) yaitu model pendekatan yang dibutuhkan dalam rangka
menjelaskan sekaligus menjawab persoalan-persoalan yang mengemuka dalam
kehidupan ummat Islam, meskipun sumber ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah
diyakini mengandung kebenaran mutlak dari Allah, tetapi pemahaman terhadap
sumber ajaran itu tidak bersifat mutlak, yakni bersifat relatif. Relatifitas
inilah yang diperlukan dalam memahami
sumber ajaran dimaksud sehingga akan ditemukan apa yang dikehendaki Allah.
Karena itu berfikir induktif tentunya yang bisa menjawab dan melihat realitas
sosial yang berkembang di dalam kehidupan masyarakat sekaligus dengan
menawarkan alternatif solusi yang dibutuhkan. Akh. Minhadji “Reorientasi Kajian
Ushul Fiqh” dalam Restrukturisasi Metodologi Islamic Studies Mazhhab
Yogyakarta, Cet. ke 1, Yogyakarta: Suka Press, 2007, h. 119-120.
[22]Masyhudi Muqorobin, Methodology of
Economics Comparative Study Between Islam and Conventional Perspective,
makalah tidak diterbitkan, h.11.
[23]Masyhudi Muqorobin, Methodologyof
Economics Comparative Study Between Islam and Conventional Perspective,…, h11.
[24]Masyhudi Muqorobin, Methodologyof
Economics Comparative Study Between Islam and Conventional Perspective...,h.15
[25]Masyhudi Muqorobin, Methodologyof
Economics Comparative Study Between Islam and Conventional Perspective...,
h.15
[26]Menurut para ahli Uṣūl fiqih, qiyas
adalah menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar naṣnya
dengan cara membandingkannya dengan kepada suatu kejadian atau peristiwa lain
yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan naṣ karena ada persamaan ‘illat
antara kedua peristiwa tersebut. Muhammad
Hasan Haitu, al-Wajῑz fi Uṣul
al-Tashri’ al-Islami, Beirut:Muassasal
al-Risālah, 2006, h. 365
[27]Istihsan adalah
meninggalkan qiyas dan mengamalkan hukum yang lebih kuat, karena ada
dalil yang menghendakinya serta lebih sesuai dengan kemaslahatan umat manusia. Muhammad Hasan Haitu, al-Wajῑz fi Uṣul al-Tashri’ al-Islami,… h. 455
[28]Maslahah mursalah adalah
suatu kemaslahatan yang tidak disinggung oleh Shara’ dan tidak pula
terdapat dalil-dalil yang menyuruh untuk mengerjakan atau meninggalkannya.
Sedangkan, jika dikerjakan akan mendatangkan kebaikan atau kemaslahatan yang
besar. Maslahah mursalah disebut juga maslahah mursalah mutlak,
karena tidak ada dalil yang mengakui sah atau tidaknya. Jadi, pembentukan hukum
dengan cara maslahah mursalah adalah semata-mata untuk kemaslahatan
manusia. Tujuannya, untuk mendatangkan manfaat dan menolak kemudharatan dan
kerusakan bagi manusia. Abd al-Wahhab al-Khallaf, Ilm Uṣul Fiqih, Kuwat:
Dār al-Qalam, 2001, h. 84
[29] Muhammad Hasyim Kamil, Prinsip…, h. 280-286
[30]Mustofa al-Shalabi, Uṣul al-Fiqh al-Islami, Beirut:
Dār al-Nahdhah al-‘Arabiyah, 1990, h. 272-275
[31]Malcolm H. Kerr, Islamic Reform: The Political
and Legal Theories of Muhammad Abduh and Rasyid Ridha, Cambrigde: Cambrigde University Press, 1996, h. 193-198
[32]Masyhudi Muqorobin, “Beberapa Persoalan
metodologis dalam Ilmu Ekonomi: Antara Sekuler dan Islam”, dalam Jurnal
Ekonomi Sosial Pembangunan, Vol.2 No.2, (Desember 2001), h. 270-271
[33]Dalam hal ini, Imam Abu Yusuf dengan karya monomentalnya
dalam hal perpajakan, Kitab al-Kharaj, yang disusun atas permintaan
Khalifah Harun al-Rasyid untuk menangani masalah administrasi perpajakan. Dianalisa
baik dari sumber aslinya dalam Bahasa Arab terbitan Bulaq Mesir, maupun
terjemahan dalam Bahasa Inggris oleh Ben Ṣemeṣ terbitan E.J. Brill Dalam Kitab
ini, Abu Yusuf r.a. mengemukakan sejumlah maxim atau kaidah dalam
perpajakan yang memiliki muatan sama dengan kaidah yang dikembangkan oleh Adam
Smith dalam The Wealth of Nation, khususnya ‘Of Taxes’ dalam “The
Sources of Revenue”, lihat Mortimer J. Adler, editor, The Great Books of the
western World, vol.36, Adam Smith, edisi kedua, 1990, Encyclopaedia
Britanica Inc., 1990, halaman 405-406
[34]Akh. Minhadji
“Reorientasi Kajian Ushul Fiqh” dalam Restrukturisasi Metodologi Islamic
Studies Mazhhab Yogyakarta, ...h. 119-120
[36]Masyhudi Muqorobin, “BeberapaPersoalan metodologis
dalam Ilmu Ekonomi: Antara Sekuler dan Islam”..., h.273
[37]Lihat Ismail Raji al-Faruqi, Islamization
of Knowledge General Principle and Workplan,Brantwood, Meryland:
International Institute of Islamic Thought, 1402 H/1982 M, h.38-48
[38]Muhammad Arif, “The Islamization of Knowledge
and Some Methodoigal Issues in Paradigm Building: The General Case of Social
Sciences with a Special Focus on Economics” American Journal of Islamic
Social Sciences, vol.4, i, 1978, h. 51-71.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar