Alamat

Pondok Manggis Kincir Air, Bojong Baru Kec. Bojong Gede Kab. Bogor Jawa Barat, 16320, Telp. +62-21 49116747 , +62-813 14004943 ,+62-858 88321521,
E-Mail: tholabulilmi49@yahoo.com Face Book : Nurul Ilmi

Minggu, 16 Februari 2014

KONTRIBUSI UṢUL FIQIH DALAM PENGEMBANGAN EKONOMI


A. Pendahuluan
                  Allah SWT menurunkan Alquran ke muka bumi serta mengutus para Nabi dan RasulNya mempunyai misi mulia, yaitu membimbing umat manusia yang peranannya sebagai khalifah-khalifah Nya dapat memkmurkan kehidupan duniawi dan tidak menimbulkan kerusakan dan bencana.
                  Kitab suci Alquran yang dipedomani dalam segala aspek kehidupan ini, dipelajari dan digali makna yang tersurat dan tersirat untuk dikontekstualisasikan nilai-nilainya dalam kehidupan baik sebagai individu, keluarga, masyarakat, berbangsa-bernegara serta sebagai anggota masyarakat dunia.
                  Garansi risalah ilahiyah sebagai rahmatan lil ‘ālamῑnadalah permanen dan abadi bagi mereka yang menjadikannya sebagai way of life dan garansi niqmatan lil ‘ālamῑnjuga berlaku sama bagi mereka yang menjadikannya sebagai alat untuk meraih popularitas dan kebahagiaan semu duniawi semata.
                  Alquran mengandung ayat-ayat yang sebagian muhkamāt dan sebagian ayat-ayatnya mutasyābihāt. Di sisi lain ayat-ayatnya juga berupa kauniyāt.
                  Karakteristik ayat yang beragam ini memerlukan ilmu tersendiri dalam memahaminya. Dalam kajian hukum Islam, maka metode yang acap digunakan dalam menggali dan menetapkan hukum Islam adalah ilmu uṣul fiqih atau uṣul fiqih yang merupakan serangkaian kaidah-kaidah yang berfungsi untuk mendeteksi kandungan makna yang terdapat pada sautu ayat tertentu, baik secara mandiri maupun dengan adanya qarinah  dari ayat lain.
                  Uṣūliyyun dalam mengkontekstualisasikan makna Alquran dan sunnah menggunakan dua pendekatan: teoritis induktif yang lebih bersifat konseptuan futuristik dan deduktif empirik yang lebih bersifat pragmatik realistis.
                  Sebagai salah satu disiplin ilmu dalam Islam, Uṣul fiqihjuga mengkaji tentang sumber-sumber hukum dan metode pengembangannya.Di luar paradigma spesifiknya ini, orang dapat mengatakan bahwa Uṣul fiqih telah memberikan pedoman-pedoman dalam pengkajian dan pemahaman yang benar pada hampir semua cabang kajian Islam, termasuk pada disiplin ilmu ekonomi.
            Dalam makalahsederhana  ini, penulis akan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut:
1.      Apakah ilmu Uṣul fiqih dan dasar hukumnya?
2.      Bagaimana sejarah perkembangan Uṣul fiqih?
3.      Bagaimana formulasi kajian Uṣul fiqih  dalam pengembangan ekonomi Islam?

B. PEMBAHASAN

1. Pengertian Uṣul fiqih
            Uṣul fiqih terdiri dari dua buah kata dalam bahasa Arab yang masing-masing mempunyai pengertian yang luas, yaitu kata uṣul dan fiqh.Kata uṣul merupakan bentuk jamak dari kata aṣl yang mengandung arti landasan sesuatu. Sedangkan secara terminoigi, kata aṣl mempunyai beberapa pengertian, yaitu:[1]
1) Dalil, yaitu landasan hukum, seperti ungkapan Uṣuliyyun: aṣl dari wajibnya ṣalat adalah firman Allah dan Sunnah Rasul. Maksudnya, yang menjadi dalil kewajiban ṣalat adalah ayat Alquran dan Sunnah.
2)Qā’idah,yaitu dasar atau fondasi, seperti sabda Rasulullah SAW yang artinya: “Islam itu didirikan atas lima uṣul (dasar atau fondasi).”
3)Rajih, yaitu pendapat  terkuat, seperti ungkapan uṣuliyyun: “Yang kuat dari kandungan suatu ungkapan adalah arti hakikatnya.” Maksudnya, setiap perkataan yang didengar atau dibaca, yang menjadi patokan adalah makna hakikat dari perkataan itu.
4)Al-Far’u atau cabang, yaitu seperti ungkapan uṣuliyyun: Anak adalah cabang dari ayah.”
5)Mustaṣhab yaitu memberlakukan hukum yang ada sejak semuala selama tidak ada dalil yang mengubahnya. Misalnya, orang yang telah berwudhu kemudian merasa ragu-ragu apakah ia masih suci atau sudah batal wudhunya. Akan tetapi,ia merasakan yakin betul belum melaksanakan sesuatu yang membatalkan wudhu. Atas dasar keyakinan ini, maka ia tetap dianggap suci atau masih mempunyai wudhu.
            Dari kelima pengertian uṣul secara bahasa di atas, pengertian yang sering digunakan dalam pembahasan Uṣul fiqih adalah dalil, yaitu dalil-dalil fiqih.
            Sedangkan kata fiqih, secara etimologi bermakna pemahaman mendalam yang membutuhkan pengerahan potensial akal.[2] Seperti, firman Allah SWT dalam surat Thaha ayat 27 dan 28 yang artinya: Dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka memahami perkataanku.”
            Sedangkan pengertian fiqih secara termonologi adalah artinya: “Ilmu tentang hukum shara’ yang praktis yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.”[3]      
Madhhab Syafi’i dan jumhur ulama (mayoritas ulama) berbeda pendapat dalam mendefinisikan Uṣul fiqih sebagai salah satu disiplin ilmu. Menurut madhhab Syafi’i Uṣul fiqih adalah: “Suatu ilmu yang membahas dalil-dalilfiqih secara global, bagaimana cara menggunakannya, dan mengetahui keadaan orang yang menggunakannya (mujtahid).”[4]
            Definisi Uṣul fiqih diatas,  menggambarkan bahwa yang menjadi objek kajian para ahli Uṣul fiqih adalah dalil-dalil yang bersifat ijmali (global), seperti, kehujahan ijma’ dan qiyas. Uṣul fiqih juga membahas bagaimana cara mengistinbathkan hukum dari dalil-dalil, seperti kaidah mendahulukan naṣdari zhahir. Dalam Uṣul fiqih dibahas pula syarat-syarat orang yang menggali hukum dari dalil.Selain itu, dalam pembahasan Uṣul fiqih juga dibahas syarat-syarat mujtahid dan persoalan yang berkaitan dengan masalah taklid.
            Mayoritas  Uṣūliyyun yang terdiri dari ulama madhhab Hanafi , Maliki dan Hambali mendefinisikan Uṣul fiqihadalah Ilmu tentang kaidah-kaidah yang dapat digunakan untuk mengistinbathkan hukum-hukum shara’ yang bersifat praktis melalui dalil-dalil yang rinci.[5]

2. Sejarah Munculnya Ilmu Uṣul fiqih
            Persoalan yang dihadapi umat Islam selalu tumbuh dan berkembang, demikian pula kepentingan dan keperluan hidupnya.Kenyataan menunjukan bahwa banyak kejadian yang tidak terjadi pada masa Rasulullah SAW, yang muncul dan terjadi pada masa-masa sesudahnya.Bahkan, ada beberapa peristiwa yang terjadi tidak lama setelah masa Rasulullah wafat. Seandainya tidak ada dalil yang dapat memecahkan hal-hal yang demikian berarti akan sempitlah kehidupan manusia.[6]
            Sejarah munculnya ilmu Uṣul fiqih tidak terlepas dari perkembangan hukum Islam sejak masa Rasulullah hingga masa tersusunnya ilmu Uṣul fiqih sebagai sebuah disiplin ilmu pada abad ke-2 H. Pada masa Rasulullah, sumber hukum Islam hanya ada dua, yaitu Alquran dan Sunnah. Apabila muncul suatu kasus, beliau menunggu datangnya wahyu yang akan menjelaskan hukumnya. Jika tidak ada wahyu yang turun, beliau menetapkan hukumnya berdasarkan sabdanya yang kemudian disebut dengan Hadis atau Sunnah.
            Dari beberapa penelitian yang dilakukan oleh para ulama terhadap peristiwa hidup Rasulullah SAW, menunjukan bahwa beliau melakukan ijtihad dan memberi fatwa berdasarkan pendapatnya pribadi tanpa wahyu.Khususnya, pada masalah-masalah yang tidak berhubungan langsung dengan hukum dan tidak ada wahyu yang menjelaskannya. Seperti, Beliaubersabda: Sesungguhnya saya memberi keputusan kalian dengan pendapatku, jika wahyunya tidak turun kepadaku.[7]
                        Akan tetapi, apabila hasil ijtihad beliau salah, Allah SWT langsung menurunkan wahyu yang tidak membenarkan hasil ijtihadnya dan menunjukan kepada yang benar, seperi dalam kasus tawaran perang Badar.Dalam memutuskan permasalahan ini, beliau bermusyawarah dengan para sahabatnya.Abu Bakar menyarankan agar mereka dibebaskan dengan syarat membayar tebusan.Sedangkan Umar berpendapat agar semua tawanan dibunuh saja.Kemudian, Rasulullah memutuskan untuk meneriama saran Abu Bakar.Setelah itu turunlah QS. Al-Anfal (8): 67 yang tidak membenarkan pilihan beliau tersebut dan menunjukan kepada yang benar,[8] sebagai berikut:
$tBšc%x.@cÓÉ<oYÏ9br&tbqä3tƒÿ¼ã&s!3uŽó r&4Ó®LymšÆÏ÷WãƒÎûÇÚöF{$#4šcr߃̍è?uÚttã$u÷R9$#ª!$#ur߃̍ãƒnotÅzFy$#3ª!$#urîƒÍtãÒOŠÅ3ymÇÏÐÈŸwöq©9Ò=»tGÏ.z`ÏiB«!$#t,t7yöNä3¡¡yJs9!$yJÏùöNè?õs{r&ë>#xtã×LìÏàtãÇÏÑÈ(#qè=ä3sù$£JÏBöNçFôJÏYxîWx»n=ym$Y7ÍhsÛ4(#qà)¨?$#ur©!$#4žcÎ)©!$#ÖqàÿxîÒOÏm§ÇÏÒÈ

     Artinya:  Tidak patut, bagi seorang nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (67). Kalau Sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil(68). Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu, sebagai makanan yang halal lagi baik, dan bertakwalah kepada Allah.Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (69).

          Adapun beberapa contoh kasus ijtihad lainnya yang dilakukan oleh Rasulullah
SAW langsung adalah sebagai berikut: 
a.       Penolakan seorang laki-laki atas kelahiran seorang anak dari Bani Fazarah yang dilahirkan dari istrinya karena anak tersebut berkulit hitam, sedangkan ayah ibunya berkulit putih. Orang tersebut menyampaikan masalahnya kepada Nabi SAW. Lalu Nabi SAW menjawab dengan bahasa analogi dengan mengajukan pertanyaan kembali: Apakah engkau memiliki unta merah yang di antara anaknya berwarna hitam? Orang itu menjawab: Benar. Nabi SAW bertanya kembali: Darimana datangnya warna hitam pada ontamu? Orang tersebut menjawab kembali: Boleh jadi adanya pengaruh keturunan. Kemudian Naabi SAW menegaskan: Hal ini juga (keadaan anakmu yang berwarna hitam dari kedua orang tua berwarna putih) boleh jadi disebabkan karena factor keturunan.[9]
b.      Kasus penyesalan Umar ibn Khattab atas perbuatannya yang dianggap membatalkan puasa. Pada suatu hari Umar ibn Khattab memeluk dan mencium istrinya, sementara ia telah melaksanakan ibadah puasa. Kemudian Umar ibn Khattab menyampaikan hal tersebut kepada Nabi SAW seraya berkata: Sungguh aku telah melakukan perbuatan luar biasa (mencium istriku dalam kondisi puasa). Nabi SAW menjawab dengan diplomatis: Bagaimana jika engkau berkumur-kumur padahal engkau berpuasa? Lalu Umar menjawab dengan tegas: “Menurut pendapatku, tidak membatalkan wudlu”. Kemudian Nabi SAW bersabda: Teruskan puasamu.[10]
d. Kasus yang terkait dengan dua orang sahabat Nabi SAW dalam perjalanan jauh, mereka berdua melaksanakan shalat tanpa wudlu dan bertayammum karena tidak memperoleh air. Setelah melaksanakan shalat, tiba-tiba mereka mendapatkan air.Salah satu sahabat mengulangi shalat karena waktu shalat masih ada dengan berwudlu kembali sebelum shalat. Sahabat Nabi yang lain tidak mengulangi shalatnya karena ia berkeyakinan shalatnya sah. Ketika berjumpa dengan Nabi SAW mereka menceritakan apa yang mereka lakukan di tengah perjalanan yang tidak mendapat air ketika akan shalat. Maka Rasulullah SAW menjawab: Kalian berdua benar. Kepada yang tidak menglangi shalatnya, Rasulullah SAW bersabda; Kamu memperolah satu pahala. Sedangkan kepada yang  mengulangi shalatnya, Rasulullah SAW bersabda: kamu memperoleh dua pahala.[11]
            Kegiatan ijtihad pada masa ini, tidak saja dilakukan oleh Rasulullah, tetapi beliau sendiri mengijinkan para sahabatnya untuk melakukan ijtihad dalam memutuskan suatu perkara yang belum ada ketentuan hukumnya dalam Alquran dan Sunnah, seperti dalam HadisMu’adh bin Jabal, sebagai berikut:
كيف تقضى إذا عرض لك القضاء؟ قال: أقضى بكتاب الله، قال: فإن لم تجد فى كتاب الله؟ قال: فبسنة رسول الله، قال: فإن لم تجد بسنة رسول اللهه ولا فى كتاب الله؟ قال: أجتهد رأ ى ولا آلو، فضرب رسول الله  صلى الله عليه و سلم بيده على صدره ، وقال: الحمد لله الذى وفق رسول رسول و لما يرضى رسول الله  (رواه أبو داود).[12]
            
             Artinya: Bagaimana cara memutuskan perkara jika diajukan masalahkepadamu? Muaz menjawab  : Aku akan memutuskan (perkara tersebut) berdasarkan Kitab Allah (al-Qur’an). Nabi bertanya: Jika kamu tidak mendapatkan dalam Kitab Allah? Muaz Menjawab: aku akan putuskan berdasarkan sunnah Rasulullah SAW. Nabi SAW bertanya kembali: Kalau tidak kamu jumpai dalam sunnah Rasulullah SAW dan Kitab Allah? Muaz menjawab: Aku akan ijtihad dengan seksama. Kemudian Rasulullah SAW menepuk-nepuk dada Muaz dengan tangannya seraya berkata: Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada utusan Rasulullah SAW terhadap apa yang diridhai Nya. (HR. Abu Dawud)

Kegiatan ijtihad yang terjadi pada masa ini, mempunyai hikmah yang sangat besar.Yaitu, memberikan inspirasi terhadap para sahabat dan para ulama dari generasi berikutnya untuk melakukan ijtihad dalam menghadapi kasus-kasus yang tidak terdapat ketetapan hukumnya dalam Alquran.
            Pada masa tābi’ut tābi’ῑn dan para imam mujtihid, yakni sekitar abad ke-2 dan abad ke-3 H, wilayah kekuasaan Islam bertambah luas, sehingga mereka  bertebaran ke wilayah-wilayah tersebut. Hal ini menyebabkan munculnya peristiwa-peristiwa yang ketetapan hukumnya tidak terdapat Alquran dan Sunnah.
Oleh karena itu, para ulama yang tinggal didaerah tersebut melakukan ijtihad untuk mencari ketetapan hukumnya.Kenyataan ini mendorong para ulama untuk menyusun kaidah-kaidah shari’yah yang berhubungan dengan tujuan dasar-dasar shara’ dalam menetapkan hukum.Selain itu, mereka juga menyusun kaidah-kaidah lughawiyahatau kebahasaan, agar dapat memahami naṣ-naṣshara’ sebagaimana dipahami oleh kaum muslimin sewaktu turun atau datangnya naṣ-naṣ tersebut.[13]
            Dengan disusunnya kaidah-kaidah shar’iyah dan lughawiyah dalam berijtihad pada abad ke-2 H, maka telah terwujudlah ilmu Uṣul fiqih. Menurut Ibnu Nadhim, ulama yang pertama kali menyusun kitab tentang ilmu Uṣul fiqih adalah Imam Abu Yusuf murid Imam Abu Hanifah. Akan tetapi, kitab ini tidak sampai kepada kita.Sedangakan menurut Abdul Wahhab Khalaf, ulama yang pertama kali membukukan kaidah-kaidah ilmu Uṣul fiqih dan disertai dengan alasan-alasannya adalah Muhammad ibn Idris al- Shafi’i dalam sebuah kitab yang berjudul al-Risālah.Kitab yang terakhir ini adalah kitab Uṣul fiqih yang pertama kali sampai kepada kita. Oleh karena itu, ia terkenal di kalangan para ulama sebagai pencetus munculnya ilmu Uṣul fiqih. Pembahasan ilmu Uṣul fiqih ini kemudian diteruskan oleh para ulama generasi berikutnya.[14]

4.      Kegunaan Ilmu Uṣul fiqih
Uṣuliyyun  berpendapat bahwa tujuan utama Uṣul fiqih adalah untuk mengetahui dalil-dalil shara’ yang menyangkut permasalahan akidah, ibadah, mu’amalah, uqubah (sangsi) dan akhlak. Pengetahuan tentang dalil-dalil tersebut pada gilirannya dapat diamalkan sesuai dengan hukum yang terdapat dalam Alquran dan Hadis.Oleh karena itu, uṣuliyyun menatakan bahwa Uṣul fiqih bukan merupakan tujuan, tetapi hanya sebagai sarana untuk mengetahui hukum-hukum Allah SWT pada setiap kasus.Sehingga, dapat dipedomani dan diamalkan sebaik-baiknya.Dengan demikian, yang menjadi tujuan sebenarnya adalah mempedomani dan mengamalkan hukum-hukum Allah SWT yang diperoleh melalui kaidah-kaidah Uṣul fiqih tersebut.[15]
            Secara sistematis, uṣuliyyun mengemukakan kegunaan Uṣul fiqih, yaitu antara lain sebagai berikut:
1)      Memahami agama, sehingga seorang mukallaf mengetahui apa yang menjadi hak dan kewajiban yang didasarkan pada pemahaman uṣul fiqih dan penerapan kaidah-kaidahnya berdasarkan dalil-dalil terperinci pada masalah-masalah baru particular;
2)      Mengetahui kaidah-kaidah dan cara-cara yang digunakan mujtahiddalam memperoleh hukum melalui metode ijtihad yang mereka susun;
3)      Memberikan gambaran mengenai syarat-syarat yang harus dimiliki seorang mujtahid, sehingga dengan tepat ia dapat menetapkan hukum-hukum shara’ dari naṣ, dan dengan Uṣul fiqih mayarakat awam dapat mengerti bagaimana para mujtahid menetapkan hukum;
4)      Memelihara agama dari kemungkinan penyalahgunaan dalil. Dalam Uṣul fiqih, sekalipun suatu hukum diperoleh melalui hasil ijtihad, tetapi statusnya tetap mendapatkan pengakuan Shara’. Melalui Uṣul fiqih para ulama mengetahui mana sumber hukum Islam yang asli yang harus dipedomani dan mana yang merupakan sumber hukum Islam yang bersifat sekunder yang berfungsi untuk mengembangkan shari’at sesuai dengan kebutuhan masyarakat Islam;
5)      Menyusun kaidah-kaidah umum yang dapat diterapkan untuk menetapkan hukum dari berbagai persoalan sosial yang terus berkembang;
6)      Mengetahui kekuatan dan kelemahan suatu pendapat sejalan dengan dalil yang digunakan dalam berijtihad, sehingga ulama dapat melakukan tarjih (penguatan) salah satu dalil atau pendapat tersebut mengemukakan alasannya.[16]
                  Beberapa faedah tersebut di atas dapat diringkas dengan bahasa sederhana bahwa manfaat praktis dari uṣul fiqih adalah untuk menetapkanhukum-hukum shara’ tentang perbuatan mukallaf berdasarkan  dalil-dalilnya terperinci.
                  Dengan kata lain, perubahan dan perkembangan zaman dan juga dengan bervariasinya kondisi sosial di berbagai daerah adalah faktor-faktor yang sangat memungkinkan penyebab tumbulnya persoalan-persoalan baru yang tidak dijumpai ketetapan hukumnya dalam Alquran dan Sunnah. Untuk itu, agar dapat mengeluarkkan ketatapan hukum atas persoalan-persoalan tersebut, seseorang harus mengetahui kaidah-kaidah dan maupun menerapkan pada dalil-dalilnya.
                  Banyak persepsi yang keliru di kalangan umat Islam yang memahami bahwa faedah terbesar uṣul fiqih adalah memproduk fiqih atau hukum Islam semata. Padahal yang benar adalah bahwa disiplin ilmu ini sangat dibutuhkan oleh kalangan mufassirῑn, muhaddithῑn dan Mutakallimῑn (teolog) dan para peneliti idiologi dan setiap orang atau pihak yang memerlukan pemahaman terhadap naṣ dan cara penetapan hukum Islam yang bersumber pada naṣ.[17]
     
4. Pendekatan dalam Ilmu Uṣul fiqih
            Uṣuliyyun berbeda pendapat dalam menggunakan pendekatan pada kajian uṣul fiqih. Ada aliran yang menggunakan aliran deduktif dan sebagian menggunakan pendekatan induktif. Perbedaan utama antara kedua pendekatan ini lebih pada masalah orientasi ketimbang masalah substansi. Kelompok pertama berhubungan dengan pengungkapan dokterin-dokterin tertulis dan kelompok yang kedua lebih bersifatpragmatis dalam pengertian bahwa teori diformulasikan dalam kerangka penerapan terhadap masalah-masalah yang relevan dan kontekstual. Perbedaan antara kedua pendekatan ini menyerupai karya seorang perumus hukum jika dibandingkan dengan karya seorang hakim. Aliran pertama berhubungan dengan pengungkapan prinsip-prinsip, sementara aliran yang kedua cenderung kepada pengembangan sintetis antara prinsip dan realitas.[18]
                  Kajian uṣul fiqih dengan pendekatan teoritis atau induktif cenderung menganggap uṣul fiqih sebagai disiplin yang berdiri sendiri, dimana fiqih harus menyesuaikan diri, sementara pendekatan deduktif berusaha mengaitkan uṣul fiqih secara lebih dekat kepada masalah-masalah detail. Pendekatan teoritis dalam kajian Uṣul fiqih ditempuh oleh madhhab Syafi’i dan mutakallimun (para ulama kalam dan Mu’tazilah). Sedangkan pendekatan deduktif ditempuh oleh uṣuliyyun dari madhhab Hanafi. Istilah yang diberikan kepada kelompok pertama adalah uṣul asy-Syafi’iyyah atau thariqah al-Mutakallimun dan kelompok yang kedua dinamakan uṣul al-Hanafiyyah atau thariqah al-Fuqaha.[19]
Di antarabuku-bukuuṣul fiqih dari aliran yang menggunakan pendekatan teoritis adalah sebagai berikut:[20]
(1المعتمدة فى أصول الفقه، المؤلف : أبو الحسين محمد بن على البصرى المعتزلى الشافعى (م. 463 ه)
2(البرهان فى أصول الفقه ، المؤلف : أبو المعالى عبد المالك بن عبد الله الجوينى بن يوسف النيسبورى الشافعى، المشهور بالإمام الحرمين (م. 487 ه)
(3المستشفى من علم الأصول، المؤلف : أبوحميد محمد بن محمد الغزالى الشافعى (م.505 ه)
      ،etiga kitab tersebut di atas hingga saat ini masih bias jita jumpai di berbagai perpustakaan Islam baik di lingkungan IAIN, IUN, STAIN maupun perpustakaan Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (PTAIS), Perpustakaan di berbagai Pondok Pesantren baik tradisional maupun moderen lainnya. Ketiga buku uṣul fiqih ini juga menjadi rujukan dari berbagai karya ilmiah di bidangnya.
Sedangkan kitab-kitab Uṣul fiqih yang disusun oleh aliran yang menggunakan metode deduktif adalah:
1 (فى الأصول الكرخى، المؤلف : أبوالحسن الكرخى (م. 340 ه)
 (2الجصاص، المؤلف : أبوبكر الرازى (م. 370 ه)
3)أصول البزدوى ، المؤلف : فخر الإسلام البزدوى (م. 483 ه)
(4أصول السرخسى، المؤلف :شمس الدين السرخسى (م. 483 ه)

Fase berikutnya dalam perkembangan Uṣul fiqih ditandai dengan adanya usaha untuk mengkombinasikan pendekatan teoritis atau induktif dan deduktits, yakni dengan menetapkan kaidah, memperhatikan alasan-alasan yang kuat dan memperhatikan pula persesuaiannya dengan hukum-hukum cabang (furu’). Di antara ulama yang melakukan hal ini adalah:[21]
1)بدائع النظام ، المؤلف : مزحفرالدين أحمد بن على الساعتى البغدادى (م. 694 ه)
2)الإحكام فى أصول الأحكام ، المؤلف : البزدوى
3)تنكيح الأصول،المؤلف :شدرسى الشرية عبيد الله  بن مسعود البخارى الحنفى (م. 747 ه)
4)الجامع الجوامع، المؤلف :تاج الدين عبد الوهاب بن السبكى الشافعى (م. 771 ه)
5)التحرير، المؤلف : كمال الدين محمد عبد الواحد المشهور ابن الهمام (م. 861ه)
6)الموافقات فى أصول الشريعة ، المؤلف : أبو إسحاق إبراهيم الشاطبى (م. 790ه)

5. Kedudukan Uṣul fiqih dalam Pengembangkan Metodologi Ilmu Ekonomi Islam
                  Pengembangan yang digunakan dalam metodologi[22]ilmu ekonomi Islam berbeda dengan pengembangan yang digunakan dengan metodologi ilmu ekonomi konvensional. Pengembangan yang digunakan metodologi ekonomi konvensional berdasarkan pada gejala-gejala ekonomi yang muncul dan bagaimana pengamatan yang telah dilakukan oleh para ahli ekonomi. Dalam Islam, metodologi dikembangkan dari pemahaman bahwa alam dan isinya adalah ciptaan Allah SWT, maka aturan-aturan yang terdapat dalam Alquran yang paling pantas untuk dilaksanakan. Oleh karena itu, metodologi ekonomi konvensional dikembangkan dari interpretasi manusia tentang manusia dan realita kehidupan. Sedangkan metodologi ekonomi Islam, dikembangkan dari ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari Alquran, Sunnah, dan Ijtihad.[23]
                                    Sebagai salah satu disiplin ilmu shari’yah, Uṣul fiqih mencangkup kajian-kajian tentang sumber-sumber hukum dan metodologi pengembangannya. Akan tetapi, diluar paradigma spesifiknya ini, orang dapat mengatakan bahwa Uṣul fiqih memberikan pedoman-pedoman dalam pengkajian dan pemahaman yang benar pada hampir semua cabang kajian Islam, termasuk pada disiplin ilmu ekonomi.
                        Para ulama sepakat bahwa  fiqih bermacam-macam jenisnya, seperti fiqih ibadah, fiqih munakahahat (perkawinan), fiqih mu’amalah, fiqih siyasah (politik), fiqih iqtiṣadiyah (hukum ekonomi), fiqih daulah (hukum tata negara) dan lainnya. Walaupun fiqih berhubungan dengan hukum-hukum Islam yang bersifat praktis, tetapi teori-teorinya dapat diterapkan dan dikembangkan dalam masalah ekonomi yang tercakup dibawah fiqih mu’amalah. Selain itu, para ahli tafsir, fiqih dan ilmu kalam juga telah menjelaskan nilai-nilai Islam dan penerapannya dalam masalah ekonomi.[24]
                        Para ekonom muslim beranggapan bahwa nilai-nilai Islam sudah mulai mewarnai penerapan ilmu ekonomi di era moderen.  Akan tetapi, hal ini diperlukan adanya elaborasi metodologi  ekonomi yang tepat. Kemudian metodologi ini dikembangkan dalam ilmu Uṣul fiqih dan mengaitkannya dengan ilmu ekonomi konvensional seperti halnya pada beberapa disiplin ilmu yang lain.[25]
                         Penerapan Uṣul fiqih dalam metodologi ekonomi Islam dapat menggunakan beberapa metode, seperti qiyas[26](analogy), istihan[27] dan maslahah mursalah[28] atau istiṣlah. Walaupunuṣuliyyun mempunyai beragam pandangan dalam menyikapinya. Misalnya, madhhab Syafi’i menjadikan qiyas dijadikan sebagai sumber hukum Islam yang keempat. Sedangkan, Mu’tazilah dan kelompok Zaidiyyah dari aliran Shi’ah menolak penggunaan qiyas sebagai sumber hukum. Berbeda dengan dua kelompok ini, madhhab Hanbali mempunyai pendapat lain. Mereka mengatakan bahwa menetapkan hukum berdasarkan Hadismursal itu lebih baik dari pada menggunakanqiyas.[29] Adapun kelompok yang menjadikan qiyas sebagai dasar penetapan hukum Islam  adalah bahwa salah satu ciri ajaran Islam adalah menghilangkan kesukaran (daf’u al-harj). Jika qiyas tidak dianggap sebagai salah satu landasan penetapan hukum, maka berlakunya hukum Islam dalam wilayah sangat terbatas dan menyebabkan kesulitan bagi pemeluknya.
                                    Qiyas ada dua macam, yaitu qiyas jali dan qiyas khafi.[30] Jika qiyas jali tidak mempu menyelesaikan permasalahan yang ada, maka penyelesaiannya dapat menggunakan qiyas khafi. Tujuannya adalah untuk memberi kemudahan kepada umat Islam dan menegakan kemaslahatan dan keadilan. Sungguhpun demikian, jika semua metode-metode hukum diatas, belum dapat menyelesaikan permasalahan ekonomi dan keuangan, maka dapat menggunakan metode maslahah mursalah atau istiṣlah yang populerkan penggunakan oleh Imam al-Syatibi dari madhhab Maliki. Metode ini juga digunakan oleh sebagian ulama madhhab Syafi’i seperti Imam al-Taufail, al-Ghazali dan al-Amidi. Penerapan metode istislah dalam ekonomi Islam, seperti penerapan teori kepuasan masyarakat dalam ekonomi konvensional.[31]
                        Munculnya metodologi dalam ilmu ekonomi konvensional yaitu ketika ilmu ekonomi ini sendiri relatif mapan dan telah mengalami perkembangan yang cukup berarti. Oleh karena itu, keberadaan metodologinya adalah untuk menjustifikasi atau mengabsahkan keberadaan ilmu ekonomi sekaligus dengan praktek-praktek empirisnya. Hal ini dapat difahimi bahwa situasi yang selalu berubah, menjadi dasar dari kemapaman ilmu ekonomi. Konsekwensinya, bila kelak terjadi perubahan mendasar terhadap praktek perekonomian secara global, maka ia juga akan mencari alat justifikasi yang baru dan sesuai, atau sebaliknya mengalami situasi yang tragis dan sulit untuk dibayangkan.[32]
                  Sedangkan Islam, ia membangun metodologinya terlebih dahulu. Dalam konteks ini misalnya berbentuk uṣulfiqih, baru kemudian ilmu fiqih yang tercangkup didalamnya fiqih mu’amalat dengan berbagai kategorinya yang berkembang mengikuti metodologi.
       Dari sini pula suatu sistem kemudian memperoleh berbagai momentum sejarahnya melalui berbagai bentuk baik teori maupun empiris.
                        Para pemikir Muslim, seperti Ibnu Sina, Ibnu Khaldun, Imam Ghazali, Imam Abu Hanifah berserta kedua muridnya yaitu Imam Abu Yusuf dan Imam Syaibani, Imam Malik, Ibn Taymiyyah dan nama-nama lain yang jumlahnya tidak terhitung telah memformulasikan berbagai perangkat dalam mekanisme ekonomi yang banyak dipakai

ilmu ekonomi konvensional saat ini.[33]
Sejarah membuktikan bahwa metode yang dipakai para ulama terdahulu kebanyakan mempergunakan metoda penalaran dalam menghadapi suatu kasus tidak ditemukan jawabannya dalam Alquran, as-Sunnah maupun ijma’. Kemudian, mereka menggunakan berbagai bentuk analisa seperti qiyas, istihsan, masalih al-mursalah dan sebagainya. Dengan demikian, senantiasa merujuk pada sumber utama terlebih dahulu jika terdapat permasalahan yang ingin dipecahkan, yaitu Alquran dan as-Sunnah. Kemudian, beralih kepada ijma’ atau langsung melakukan ijtihad dengan beberapa pendekatan yang secara garis besar terbagi dua.[34]
                        Mudhhab Syafi’i, yang termasuk dalam kategori kelompok Mutakallimun (Para Teolog) dan kelompok Mu’tazilah lebih banyak mempergunakan pendekatan teoritis atau pendekatan induktif. Dengan pendekatan ini, mereka berharap dapat menjadikannya sebagai standar dalam penyelesaian permasalahan-permasalahan empiris. Metode ini disebut juga uṣul al-Syafi’iyyahatau thariqah al-Mutakallimun. Pendekatan ini lebih menekankan eksposisi teori dengan berbagai prinsipnya yang kemudian diformulasikan secara detail ke dalam hukum fiqih. Pendekatan ini tidak terlalu memperdulikan apakah formulasi detail ini akan bersentuhan langsung dengan persoalan praktis ataupun tidak. Untuk yang terakhir ini contohnya adalah sebagai persoalan kenabian.
                        Sebaliknya, uṣul al-Hanafiyyah atau thariqah al-fuqaha yang dikembangkan oleh madhhab hanafi, mempergunakan metode deduktif dengan memformulasikan doktrin teori yang sesuai dengan problem-problem yang relevan dalam masyarakat, sehingga terkesan lebih pragmatis.
                        Jadi, melalui metodologi yang dikenal dalam Uṣul fiqih inilah kemudian diproduksi hukum-hukum yang memuat semua ketentuan fiqih.Fiqih ini juga diklasifikasikan ke dalam beberapa katagori, salah satunya adalah fiqih mu’amalah yang memuat ketentuan hukum transaksi perdagangan dan ekonomi.
                        Jika suatu masalah tidak dijumpai jawabannya melalui sumber-sumber hukum diatas, khususnya dalam transaksi perdagangan dan ekonomi, maka para ulama mencari alternatif melalui istislah. Imam Malik dan kalangan Madhhabnya lebih banyak mempergunakan metode istiṣlah atau masalih al-mursalah. Istislah merupakan pengambilan hukum yang berdasarkan kepada kepentingan umum (public interest) yang tidak terbatas, namun dengan beberapa syarat yang ketat. Ia dibedakan dari yang secara terang diakui oleh Syari’at atau dikenal maṣalih al-mu’tabarah, seperti melindungi kepentingan lima kebutuhan dasar (ḍaruriyat al-khamsah) yaitu: agama; kehidupan; akal; keluarga; dan harta benda. Alasan utama dalam pemakaian hukum ini adalah bahwa Allah SWT menurunkan Shari’at untuk menyediakan kemudahan bagi manusia dalam melaksanakan ajaran-ajaranNya. Teori pengambilan hukum ini juga banyak diterima oleh kalangan Syafi’iyyah seperti at-Thufi, al-Ghazali dan juga al-Amidi.
                        Pembahasan dalam makalah ini tentunya tidak cukup untuk mengkaji semua persoalan-persoalan dalam Uṣul fiqih. Ada beberapa sumber hukum tambahan didalamnya yang tidak dapat dibahas dalam makalah ini. Yang amat penting untuk disampaikan adalah bahwa melalui dua sumber hukum yang terakhir ini, persoalan ekonomi yang dihadapi manusia moderen mendapatkan tempat penyelesaian sesuai dengan ketentuan Shari’yah, dengan melalui proses pemikiran dan perenungan berdasarkan syarat-syarat ketat sebagaimana diatas.
                        Contoh pemakaian metode istihsan dalam ekonomi, jika Umar dan Usman membentuk partnerṣip dengan usaha penjualan rumah angsuran, dengan sistem profit dan loss ṣaring (PLS). Misalnya Ali kemudian membeli dengan menyerahan uang muka katakan Rp 10.000.000, yang diterima Umar atas nama mereka berdua. Tiba-tiba uang tersebut hilang ketika dibawa oleh Umar. Maka berdasarkan ketentuan Qiyas jalli, kerugian atas kehilangan itu ditanggung mereka berdua berdasar sistem PLS. Namun demikian, berdasarkan ketentuanIstihsan, hanya Umarlah yang menaggungnya, karena uang tersebut statusnya masih dibawah pengawasan Umar.[35] Sedangkan contoh untuk metode Istislah ini juga banyak ditemukan penerapannya pada para sahabat seperti pengumpulan zakat oleh Khalifah Abu Bakar, ṣalat tarawih dilaksanakan secara berjama’ah pada masa Umar, penulisan Alquran pada masa Utsman dan lain-lain.[36]
                        Sampai disini, barangkali semua kalangan umat Islam sepakat. Persoalan muncul kemudian ketika sistem ekonomi yang dominan saat ini berorientasi pada materialisme dan ditopang oleh mapannya landasan teoritik ilmu ekonomi yang kuat. Secara metodologis ada dua issu mendasar yang muncul, pertama, tentang bagaimana kita mendefinisi ilmu  ekonomi Islam, berimplikasi pada munculnya pertanyaan tentangsejak kapan ilmuekonomi Islam berlangsung, yang telah terjawab dengan singkat bagian diatas. Kedua, konsekwensinya, tentang bagaimana menurunkan ketentuan Shari’yah menjadi alternatif solusi bagi perkembangan ekonomi moderen. Apakah untuk kasus ilmu ekonomi, kemudian Islamisasi merupakan jalan penyelesaian yang tepat, dan bagaimana berikutnya.
Ini bukanlah masalah yang sederhana, sehingga tulisan ringkas ini tidak mungkin mampu menampilkan pembahasan yang luas. Namun demikian, bukan berarti harus ditinggalkan begitu saja, melainkan mendaparkan perhatian dan dibahas secukupnya.
                        Dan bila proses Islamisasi merujuk pada prosedur diatas, maka Islamisasi adalah sebuah keniscayaan yang tidak dapat ditunda. Sebaliknya, bila Islamisasi ternyata hanya akan lebih menempatkan Islam sebagai alat justifikasi atas praktek-praktek ekonomi yang ada, Allahlah yang akan menjadi saksi. Keduanya memiliki konsekwensi yang amat berbeda, dan keduanya juga memiliki kecenderungan bagi keberlangsungannya.

            6. Solusi Alternatif
                        Islamisasi dan metodologi sesungguhnya dua hal yang berbeda. Akan tetapi, karena proses Islamisasi dalam konteks ini menyangkut persoalan yang bersifat metodologis, maka Islamisasi perlu dikaitkan dalam pembahasan ini.
                        Penggunaan alat analisa pengetahuan moderen dapat terlihat pada klaim Faruqi terhadap Islamisasi pengetahuan, yang dalam hal ini ia pertegas secara sistematik melalui dua belas langkahnya.[37] Dalam bidang ilmu ekonomi dikembangkan dengan meminjam pendekatan Lakatosian scientific research programme (SRP), oleh Muhammad Arif[38], yang secara metodologis menyepakati ketergantungan ilmu sosial pada ilmu alam. Hanya notion tentang Islamisasi tempaknya masih belum menyinggung lebih jauh tentang model kuantitatif yang paling mungkin untuk kepentingan ilmu ekonomi.
                  Untuk tujuan analisis, ajaran-ajaran Islam harus dibedakan menjadi dua kategori. Pertama,ajaran Islam yang thabit (tidak boleh berubah) berdasarkan pada aturan Shari’yah, semisal aplikasi zakat pada investasi, ketiadaan elemen gharar dan sebagainya. Kedua, ajaran Islam yang mutaghayyir (boleh berubah), diambil dari observasi empirik seperti bentuk kompetisi, investasi, sistem bagi hasil dan sebagainya.

C. KESIMPULAN

                  Dari paparan beberapa variabel jakian Uṣul fiqih di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1)      Uṣul fiqih adalah kaidah-kaidah hukum yang berfungsi sebagai media untuk memahami, menggali dan menetapkan hukum Islam yang bersifat tafṣilῑ (rinci) yang bersumber dari Alquran dan sunnah. Adapun dasar hukumnya adalah Alquran, sunnah serta Ijma’ ṣahabi dan Qiyas. Kedua sumber hukum terakhir ini (Ijma’ ṣahabi dan Qiyas) oleh sebagian Uṣuliyyun juga dianggap sebagai metode penetapan hukum Islam dan bukan sumber hukum Islam.
2)      Sejarah munculnya ilmu uṣul fiqih diawali dengan apa yang dilakukan Rasulullah SAW ketika menghadapi suatu pertanyaan dari sahabat tentang masalah hukum dan naṣ Alquran maupun sunnah belum berbicara solusinya, sehingga beliau berijtihad dan tidak jarang ijtihadnya dikuatkan dengan turunnya wahyu. Kegiatan ijtihad ini berlanjut di kalangan sahabat, tabi’n dan tabi’u al- tabi’n dan seterusnya hingga hari ini dan tersusun metodologi yang konstruktif baik di kalangan madhhab maupun umat Islam.
3)      Ilmu ekonomi Islam atau ekonomi Islam adalah disiplin ilmu yang tumbuh dan berkembang seusia peradaban umat manusia. Karena ia merupakan kebutuhan primer dalam inti kehidupan umat manusia, ilmu ini mengalami dinamika perkembangan sesuai perkembangan peradaban masyarakat berprilaku ekonomi. Islam hari ini yang mayoritas dipeluk oleh komunitas masyarakat yang berada  di dunia ketiga (Negara berkembang), tidak jarang mereka lebih terbiasa berprilaku ekonomi dan berprinsip ekonomi ribawi sebagai dampak romantisme negara jajahan Barat. Mengembalikan fikroh islamiyah dan membangun paradigma ekonomi Islam adalah keniscayaan melalui pendekatan uṣuli baik dengan pendekatan metode qiyasi, istihsani maupun istiṣlahi untuk segera mengentaskan umat Islam dari kubangan ekonomi ribawi menuju ekonomi rabbani yang diriḍai Allah SWT. Amiin.
                       
















DAFTAR PUSTAKA

Abd al-Wahhab al-Khallaf, Ilm Uṣul Fiqih, Kuwat: Dār al-Qalam, 2001
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Damaskus, Dār al-Qalam, 1997
Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustaṣfa fi ‘Ilmi al-Uṣul, Beriut, Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, jilid I, 1983
Adu Dawud, Sunan Asbi Dawud, Juz III,Cairo, Dār al-Fikr , tth.
Akh. Minhadji “Reorientasi Kajian Ushul Fiqh” dalam Restrukturisasi Metodologi Islamic Studies Mazhhab Yogyakarta, Cet. ke 1, Yogyakarta: Suka Press, 2007
Al-Allāmah al-Bannani, Hasyiah al-Bannani ‘ala Syarh al-Mahalli ‘ala Matn Jami’ al-Jawami’ jilid I, (Beirut: Dār Al Fikr) 1402 H/1982 M
 Ibn Qayyim al-Jauziyah, I’lamul Muwaqi’in an Rabbil ‘Alamin, Juz I, Beirut: Dār al-Jail, t. th.
Imam al-Darimi, Sunan al-Darimi, Juz II, Beirut: Dār al-Fikr, t. th.
Imam Muslim, Shahῑh Muslim, Jilid IV, Damaskus, Dār Al-Fikr, 2006
 Ismail Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge General Principle and Workplan, Brantwood, Meryland: International Institute of Islamic Thought, 1402 H/1982 M
Iyad  ibn Nami al-Salma, Uṣūl fiqih alladhi la yasa’u al-Faqh Jahlahu, Riyad: Dār Al-Tadmuriyah, 2008
Kamal Mukhat dkk, Uṣūl fiqih I, Jakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995
Malcolm H. Kerr, Islamic Reform: The Political and Legal Theories of Muhammad Abduh and Rasyid Ridha, Cambrigde:  Cambrigde University Press, 1996
Masyhudi Muqorobin, “Beberapa Persoalan metodologis dalam Ilmu Ekonomi: Antara Sekuler dan Islam”, dalam Jurnal Ekonomi Sosial Pembangunan, Vol.2 No.2, (Desember 2001)
Masyhudi Muqorobin, Methodology of Economics Comparative Study Between Islam and Conventional Perspective, makalah tidak diterbitkan
 Mortimer J. Adler, editor, The Great Books of the western World, vol.36, Adam Smith, edisi kedua, 1990, Encyclopaedia Britanica Inc., 1990
Muhammad Arif, “The Islamization of Knowledge and Some Methodoigal Issues in Paradigm Building: The General Case of Social Sciences with a Special Focus on Economics” American Journal of Islamic Social Sciences, vol.4, i, 1978
Muhammad Hasan Haitu, al-Wajῑz fi Uṣul al-Tashri’ al-Islami, Beirut:Muassasal al-Risālah, 2006
Musthafa ibn Muhammad ibn salāmah, al-Ta’ss fi Uṣūl fiqih ‘ala Ḍaui al-Kitāb wa al-Sunnah, Riyaḍ: Dār Al-Qabas, 2009
Mustofa al-Shalabi, Uṣul al-Fiqh al-Islami, Beirut: Dār al-Nahdhah al-‘Arabiyah, 1990
Nasrun Haroen, Uṣūl fiqih,Jakarta: Logos, 1996
 Rashd Muhammad Musa, al-Ijtihād wa Mada Hājatuna Ilaihi fῑ Hadha al-‘Aṣr, Mesir: Dār al-Kutub al-Hadῑthah, 1972
Rashd Muhammad Musa, al-Ijtihād wa Mada Hājatuna Ilaihi fῑ Hadha al-‘Aṣr,Beirut: Dār al-Fikr,2000
Wahbah al-Zuhaili, Uṣūl fiqih al-Islami, jilid I, Beirut: Dār al-Fikr,1996
KONTRIBUSI UṢUL FIQIH
DALAM PENGEMBANGAN  EKONOMI





The Paper is aimed to fulfill personal task of Contemporery Issuesof  of Islamic Finance (CIIF)





Team Teaching:
1.                Prof. DR. H. Fathurrahman Jamil, MA
2.                Prof. DR. H. Sri Edi Swasono, M. Ec







                              Written by : Syamsul Hilal
NIM           : 11.3.00.1.09.01.0024











Post Graduate School of Islamic State University of Syarif Hidayatullah Jakarta
2012





[1] Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustaṣfa fi ‘Ilmi al-Uṣul, Beriut, Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, jilid I, 1983, h.5
[2]Nasrun Haroen, Uṣūl fiqih,Jakarta: Logos, 1996, h.2
[3]Al-Allāmah al-Bannani, Hasyiah al-Bannani ‘ala Syarh al-Mahalli ‘ala Matn Jami’ al-Jawami’ jilid I, (Beirut: Dār Al Fikr) 1402 H/1982 M, h.25
[4]Al-Allāmah al-Bannani, Hasyiah al-Bannani ‘ala Syarh al-Mahalli ‘ala Matn Jami’ al-Jawami’ jilid I,h. 25
[5]Musthafa ibn Muhammad ibn salāmah, al-Ta’sῑs fi Uṣūl fiqih ‘ala Ḍaui al-Kitāb wa al-Sunnah, Riyaḍ: Dār Al-Qabas, 2009, h. 19
[6]Kamal Mukhat dkk, Uṣūl fiqih I,Jakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995, h. 145
[7]Imam Muslim, Shahῑh Muslim, Jilid IV, Damaskus, Dār Al-Fikr, 2006, h. 87
[8] ‘Iyad ibn Nami al-Salma, Uṣūl fiqih alladhi la yasa’u al-Faqh Jahlahu, Riyad: Dār Al-Tadmuriyah, 2008, h. 458
[9] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Damaskus, Dār al-Qalam, 1997, h. 57
[10] Imam al-Darimi, Sunan al-Darimi, Juz II, Beirut: Dār al-Fikr, t. th. h. 13
[11] Ibn Qayyim al-Jauziyah, I’lamul Muwaqi’in an Rabbil ‘Alamin, Juz I, Beirut: Dār al-Jail, t. th. h. 204
[12]Adu Dawud, Sunan Abi Dawud, Juz III,Cairo, Dār al-Fikr , tth., h. 303
[13]Rashd Muhammad Musa, al-Ijtihād wa Mada Hājatuna Ilaihi fῑ Hadha al-‘Aṣr, Mesir: Dār al-Kutub al-Hadῑthah, 1972, h. 41
[14]Rashd Muhammad Musa, al-Ijtihād wa Mada Hājatuna Ilaihi fῑ Hadha al-‘Aṣr,Beirut: Dār al-Fikr,2000,h. 42

[15]Nasrun Haroen, Uṣul fiqih, ...,h.5
[16]Wahbah al-Zuhaili, Uṣūl fiqih al-Islami, jilid I, Beirut: Dār al-Fikr,1996, h.30-31. Bandingkan dengan  ‘Iyad  ibn Nami al-Salma, Uṣūl fiqih alladhi la yasa’u al-Faqh Jahlahu,, h. 18-20
[17]‘Iyad  ibn Nami al-Salma, Uṣūl fiqih alladhi la yasa’u al-Faqh Jahlahu,… , h. 20
[18]Nasrun Haroen, Uṣul Fiqih...,h.11-13.
[19]Metode penetapan  hukum Islam  dipengaruhi oleh dua corak mazhhab: 1. Doktriner-normatif-deduktif(tharqah mutakallimn) yaitu suatu pendekatan yang menekankan bahwa al-Qur’an dan al-Sunnah  sebagai sumber ajaran  yang telah disepakati dan diyakini kebenarannya, dipahami dan diamalkan oleh ummat Islam sesuai dengan ketentuan hukum yang terkandung di dalamnya. Ummat Islam dengan segala aktifitas kehidupannya harus mendasarkan pada sumber ajaran tersebut dengan tidak boleh meninggalkannya. Oleh karena demikian,  tidak jarang realitas sosial yang dihadapi ummat Islam tidak terjawab dan terselesaikan. 2.  Empiris-historis-induktif (tharῑqah hanafiyyah) yaitu model pendekatan yang dibutuhkan dalam rangka menjelaskan sekaligus menjawab persoalan-persoalan yang mengemuka dalam kehidupan ummat Islam, meskipun sumber ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah diyakini mengandung kebenaran mutlak dari Allah, tetapi pemahaman terhadap sumber ajaran itu tidak bersifat mutlak, yakni bersifat relatif. Relatifitas inilah yang diperlukan  dalam memahami sumber ajaran dimaksud sehingga akan ditemukan apa yang dikehendaki Allah. Karena itu berfikir induktif tentunya yang bisa menjawab dan melihat realitas sosial yang berkembang di dalam kehidupan masyarakat sekaligus dengan menawarkan alternatif solusi yang dibutuhkan. Akh. Minhadji “Reorientasi Kajian Ushul Fiqh” dalam Restrukturisasi Metodologi Islamic Studies Mazhhab Yogyakarta, Cet. ke 1, Yogyakarta: Suka Press, 2007, h. 119-120.
[20]Kamal Mukhtar, Uṣul Fiqih, Jilid I, ..., h.17

[21]Kamal Mukhtar, Uṣul Fiqih, Jilid I, ..., h.19

[22]Masyhudi Muqorobin, Methodology of Economics Comparative Study Between Islam and Conventional Perspective, makalah tidak diterbitkan, h.11.
[23]Masyhudi Muqorobin, Methodologyof Economics Comparative Study Between Islam and Conventional Perspective,, h11.
[24]Masyhudi Muqorobin, Methodologyof Economics Comparative Study Between Islam and Conventional Perspective...,h.15
[25]Masyhudi Muqorobin, Methodologyof Economics Comparative Study Between Islam and Conventional Perspective..., h.15
[26]Menurut para ahli Uṣūl fiqih, qiyas adalah menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar naṣnya dengan cara membandingkannya dengan kepada suatu kejadian atau peristiwa lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan naṣ karena ada persamaan ‘illat antara kedua peristiwa tersebut. Muhammad Hasan Haitu, al-Wajῑz fi Uṣul al-Tashri’ al-Islami, Beirut:Muassasal al-Risālah, 2006, h. 365
[27]Istihsan adalah meninggalkan qiyas dan mengamalkan hukum yang lebih kuat, karena ada dalil yang menghendakinya serta lebih sesuai dengan kemaslahatan umat manusia. Muhammad Hasan Haitu, al-Wajῑz fi Uṣul al-Tashri’ al-Islami,… h. 455
[28]Maslahah mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak disinggung oleh Shara’ dan tidak pula terdapat dalil-dalil yang menyuruh untuk mengerjakan atau meninggalkannya. Sedangkan, jika dikerjakan akan mendatangkan kebaikan atau kemaslahatan yang besar. Maslahah mursalah disebut juga maslahah mursalah mutlak, karena tidak ada dalil yang mengakui sah atau tidaknya. Jadi, pembentukan hukum dengan cara maslahah mursalah adalah semata-mata untuk kemaslahatan manusia. Tujuannya, untuk mendatangkan manfaat dan menolak kemudharatan dan kerusakan bagi manusia. Abd al-Wahhab al-Khallaf, Ilm Uṣul Fiqih, Kuwat: Dār al-Qalam, 2001, h. 84
[29] Muhammad Hasyim Kamil, Prinsip…, h. 280-286
[30]Mustofa al-Shalabi, Uṣul al-Fiqh al-Islami, Beirut: Dār al-Nahdhah al-‘Arabiyah, 1990, h. 272-275
[31]Malcolm H. Kerr, Islamic Reform: The Political and Legal Theories of Muhammad Abduh and Rasyid Ridha, Cambrigde:  Cambrigde University Press, 1996, h. 193-198
[32]Masyhudi Muqorobin, “Beberapa Persoalan metodologis dalam Ilmu Ekonomi: Antara Sekuler dan Islam”, dalam Jurnal Ekonomi Sosial Pembangunan, Vol.2 No.2, (Desember 2001), h. 270-271
[33]Dalam hal ini, Imam Abu Yusuf dengan karya monomentalnya dalam hal perpajakan, Kitab al-Kharaj, yang disusun atas permintaan Khalifah Harun al-Rasyid untuk menangani masalah administrasi perpajakan. Dianalisa baik dari sumber aslinya dalam Bahasa Arab terbitan Bulaq Mesir, maupun terjemahan dalam Bahasa Inggris oleh Ben Ṣemeṣ terbitan E.J. Brill Dalam Kitab ini, Abu Yusuf r.a. mengemukakan sejumlah maxim atau kaidah dalam perpajakan yang memiliki muatan sama dengan kaidah yang dikembangkan oleh Adam Smith dalam The Wealth of Nation, khususnya ‘Of Taxes’ dalam “The Sources of Revenue”, lihat Mortimer J. Adler, editor, The Great Books of the western World, vol.36, Adam Smith, edisi kedua, 1990, Encyclopaedia Britanica Inc., 1990, halaman 405-406
[34]Akh. Minhadji “Reorientasi Kajian Ushul Fiqh” dalam Restrukturisasi Metodologi Islamic Studies Mazhhab Yogyakarta, ...h. 119-120
[35]Muhammad HasyimKamali, Prinsip..., h.321
[36]Masyhudi Muqorobin, “BeberapaPersoalan metodologis dalam Ilmu Ekonomi: Antara Sekuler dan Islam”..., h.273

[37]Lihat Ismail Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge General Principle and Workplan,Brantwood, Meryland: International Institute of Islamic Thought, 1402 H/1982 M, h.38-48
[38]Muhammad Arif, “The Islamization of Knowledge and Some Methodoigal Issues in Paradigm Building: The General Case of Social Sciences with a Special Focus on Economics” American Journal of Islamic Social Sciences, vol.4, i, 1978, h. 51-71.
                

Tidak ada komentar:

Posting Komentar